Pertanyaan yang Berbahaya

Markus 11:27-33

Suatu kali, dalam presentasi di kelas teologi, saya ditanya oleh teman dekat saya. Saya merasa pertanyaannya menjebak atau bermaksud menyudutkan kelompok saya. Jadi, dengan lugas saya bertanya balik, “Apa maksud pertanyaan kamu?” Pertanyaan ini ternyata membuat ia gelagapan ketika mencoba menjelaskan maksud pertanyaannya. Bahasa tubuhnya mengonfirmasi apa yang ada dalam pikiran saya. Imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, dan para tua-tua bertanya kepada Tuhan Yesus, “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu, sehingga Engkau melakukan hal-hal itu?” (11:28). Yang mereka maksud dengan “hal-hal itu” dalam pertanyaan di atas mengacu pada peristiwa saat Tuhan Yesus menyucikan Bait Allah (11:15-19). Penyucian Bait Allah itu telah membuat mereka terusik. Oleh karena itu, jelas bahwa pertanyaan mereka pasti tidak bersifat netral. Ada agenda tersembunyi di balik pertanyaan mereka. Setiap kata dalam pertanyaan mereka sudah disusun untuk menjatuhkan Tuhan Yesus, bukan sekadar untuk menjebak. Mereka menyangka bahwa diri mereka cerdik. Mereka tidak sadar bahwa Yesus Kristus itu Mahatahu. Bila pertanyaan di atas dijawab, “Dengan kuasa Allah,” mereka akan menuduh Yesus Kristus sebagai penghujat Allah. Jika dijawab, “dengan kuasa-Ku sendiri,” mereka akan menganggap Yesus Kristus menantang mereka sebagai otoritas (penguasa) Bait Allah yang sah. Jawaban apa pun pasti bisa menjadi alasan untuk menjatuhkan Tuhan Yesus. Hal lain yang tidak mereka duga adalah bahwa Tuhan Yesus tidak “memakan” umpan pertanyaan mereka. Tuhan Yesus juga tidak menuduh ketidaktulusan mereka secara reaktif. Secara mengejutkan, Tuhan Yesus bertanya balik kepada mereka, “Baptisan Yohanes itu, dari sorga atau dari manusia? Berikanlah Aku jawabnya!” (11:30). Jawaban berupa pertanyaan itu membongkar pikiran cemar imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan para tua-tua. Kita perlu merespons percakapan di atas dengan melakukan dua hal: Pertama, periksalah motivasi dan tujuan kita saat kita mengajukan pertanyaan. Terkadang kita harus mengajukan pertanyaan yang bersifat menguji, tetapi pastikanlah bahwa motivasi kita tulus dan tujuan kita adalah untuk membangun orang yang kita tanya. Kedua, teladanilah hikmat Tuhan Yesus dalam menjawab (merespons) pertanyaan yang kita anggap bertujuan menjebak atau menjatuhkan. [GI Mario Novanno]

Penampilan (Dapat) Menipu

Markus 11:12-26

Wajarlah seandainya para murid menggeleng-gelengkan kepala saat melihat reaksi Tuhan Yesus yang nampak berlebihan saat tidak menemukan satu pun buah pada pohon ara untuk mengisi perutnya yang lapar. Alkitab mencatat dengan jelas alasan mengapa pohon ara itu tidak berbuah, yaitu karena “bukan musim buah ara” (11:13). Sekalipun demikian, Yesus Kristus menghardik pohon ara itu, “Jangan lagi seorang pun makan buahmu selama-lamanya!” (11:4). Bukankah reaksi tersebut terasa berlebihan, bahkan seperti reaksi anak kecil yang merasa kesal karena tidak bisa memperoleh apa yang diinginkannya? Jika ini yang ada di benak kita, berarti kita tidak tahu apa pun tentang pohon dan buah ara. Pohon ara berbuah setahun dua kali. Normalnya, buah ara bertumbuh bersamaan dengan daun yang mulai keluar dari tangkai. Alkitab mencatat bahwa pohon ara itu sudah berdaun (11:13). Munculnya daun seharusnya dibarengi dengan kemuncul-an buah ara. Akan tetapi, penampilan dedaunan di pohon ara yang menjanjikan itu ternyata menipu, sama menipunya dengan pikiran kita yang menganggap Yesus Kristus tidak semestinya menghardik pohon ara itu. Yesus Kristus tidak bertindak berlebihan! Kita yang tertipu! Sekalipun demikian, ada jenis penipuan yang lebih tajam yang sedang dibongkar oleh Yesus Kristus. Di Bait Allah, Tuhan Yesus mengamuk. Ia mengusir orang-orang yang berdagang, membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati—orang-orang yang mengang-gap dirinya menolong agar pelayanan di Bait Allah lebih lancar. Banyak orang Yahudi dari luar Yerusalem yang memanfaatkan jasa mereka karena uang persembahan yang mereka bawa harus dikonversi ke dalam mata uang yang hanya berlaku di Bait Allah. Membeli hewan persembahan di Bait Allah tentu sangat mengurangi kerepotan bila dibandingkan dengan membawa sendiri hewan korban dari tempat asal mereka. Akan tetapi, Yesus Kristus tahu bahwa kegiatan jual-beli ini sudah di-set-up sedemikian rupa agar mendatangkan keuntungan besar bagi orang-orang yang nampak berjasa itu. Mereka berkedok pelayanan, tetapi sebenarnya mereka adalah hamba uang. Penampilan mereka menipu! Jangan tertipu oleh penampilan! Mawas dirilah terhadap segala hal yang kita anggap sebagai kebaikan/kesalehan yang melekat pada diri kita. Jangan tertipu! Jangan pula kita sampai dihardik Tuhan karena tidak menghasilkan satu buah pun! [GI Mario Novanno]

Yesus Kristus adalah Raja

Markus 11:1-11

Sejak permulaan injilnya, Markus menggambarkan Yesus Kristus sebagai seorang raja. Markus tidak memulai injilnya dengan menceritakan kelahiran Yesus Kristus sebagai seorang anak bayi yang tidak berdaya dan ditolak dunia, melainkan sebagai seorang Raja yang kedatangan-Nya didahului oleh seorang utusan bernama Yohanes. Perlu diadakan pengumuman penting sebelum seorang raja datang agar rakyat dapat bersiap diri menyambut kedatangan Sang Raja. Dalam kisah yang kita baca hari ini, Yesus Kristus menunjukkan diri-Nya dalam gambaran yang samar-samar sebagai seorang Raja. Meng-apa samar-samar? Pertama, Ia tidak secara terang-terangan memprok-lamasikan diri-Nya kepada khayalak umum sebagai Mesias yang sedang mereka nanti-nantikan. Kedua, Ia tidak tampil sebagai seorang Raja se-bagaimana umumnya raja dunia dengan segala keglamoran dan kemu-liaan dalam perspektif duniawi (Ia tidak naik kereta kuda, tetapi hanya seekor keledai). Sekalipun demikian, Ia dengan jelas memperlihatkan kemahakuasaan-Nya terhadap segala sesuatu. Ia menggunakan pra-pengetahuan-Nya dan menyuruh murid-murid untuk mengambil seekor keledai muda yang belum pernah ditunggangi orang sebagai tunggang-an saat masuk ke Yerusalem. Sang pemiliki keledai tunduk terhadap perkataan, “Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya ke sini.” (11:3). Selain itu, tanpa komando dari siapa pun, banyak orang menggunakan pakaiannya sebagai karpet penyambutan yang dihiasi dengan ranting-ranting hijau disertai dengan seruan: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (11:10). Satu pemandangan yang tidak biasa bagi penyambutan seorang Guru, seorang Penyembuh, seorang Pembuat mujizat, namun bukan seorang raja menurut kamus yang berlaku saat itu. Siapa Yesus yang Anda kenal? Juruselamat pribadi? Sahabat sejati? Guru yang berkharisma? Pembuat mujizat? Penyembuh? Jawaban atas segala permasalahan hidup? Bagaimana dengan gambaran Yesus sebagai seorang Raja yang berkuasa penuh dalam “pemerintahan” hidup Anda? Apakah Anda membiarkan Yesus Kristus menggunakan apa yang Anda punya jika Ia memerlukannya? Apakah Anda memperlakukan Ia sebagai seorang Raja? Bagaimana jika Ia meninjau hidup Anda: Apakah Ia menemukan Anda siap menyambut kedatangan-Nya? [GI Mario Novanno]

Melayani(?), Bukan(!) Dilayani(…)

Markus 10:32-52

Saya berharap bahwa saya tidak membuat bingung pembaca yang membaca judul renungan hari ini. Yesus Kristus adalah Pribadi yang melayani. Dia berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani ...” Kalimat itu menghasilkan slogan populer, “Melayani, bukan dilayani.” Akan tetapi, bila kita berpikir kritis dan mengevaluasi mereka yang gembar-gembor mendengungkan slogan tersebut (tetapi tidak melakukannya), mungkin kita akan bertanya-tanya. Secara jujur, mungkin saja slogan itu sebenarnya telah berubah menjadi, “Melayani? Bukan!! Dilayani ...” Slogan kebanggaan orang Kristen itu menjadi olok-olok orang Kristen sendiri. Kenyataan ini membangkitkan rasa miris. Akan tetapi, harus diakui bahwa perubahan slogan seperti itu memang benar-benar ada di kalangan orang percaya. Jangankan seka-rang, pada zaman Yesus Kristus pun hal itu sudah terjadi. Untuk ketiga kalinya, Tuhan Yesus menyampaikan nubuatan bah-wa Ia akan diserahkan kepada para rohaniwan Yahudi yang akan men-jatuhi Dia hukuman mati dengan menyerahkan Dia kepada bangsa asing yang akan mengolok-olok, meludahi, menyesah, dan membunuh diri-Nya, tetapi pada hari ketiga Ia akan bangkit. Sayangnya, bukan rasa prihatin yang timbul dalam diri para pendengar-Nya (dua belas murid bakal rasul-Nya), melainkan kedahagaan untuk menjadi orang penting nomor dua yang menguasai hati, hasrat, dan harapan mereka. Walau-pun seakan-akan hanya Yakobus dan Yohanes yang haus akan posisi yang menggiurkan ini (10:35-37), sebenarnya kesepuluh murid yang lain pun punya kehausan yang sama (10:41)! Paling tidak, kejujuran Yakobus dan Yohanes yang berani mengakui sisi batin mereka yang tersembunyi perlu dihargai, tidak seperti para murid lain yang memendam hasrat mereka supaya bisa curi-curi kesempatan ketika waktunya datang tanpa diketahui saingan mereka. Hati-hati terhadap hasrat tidak kudus ini! Dunia mempromosikan kenyamanan, tetapi Kristus menjanjikan penderi-taan: pikul salib, dan sangkal diri. Utamakan melayani, bukan dilayani! Seperti yang biasa telah Ia lakukan, Tuhan Yesus memberi teladan dengan melayani seorang PENGEMIS BUTA bernama Bartimeus. Dia bu-kan siapa-siapa. Sementara orang lain mengabaikannya (menyuruh Bar-timeus diam), Yesus Kristus melayaninya. Tindakan ini meneguhkan inspi-rasi yang Ia katakan sebelumnya. Teladanilah Kristus! [GI Mario Novanno]

Ikut Tuhan Yesus = Belajar Melepaskan

Markus 10:17-31

Untung saya bukan orang kaya! Itu yang terlintas dalam pikiran saya ketika membaca bacaan Alkitab hari ini. Yah, sebenarnya sampai dua kali Tuhan Yesus mengatakan hal yang serupa, “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah” (10:23b) dan “Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (10:25). Kemungkinan besar, hati orang kaya terpikat dan terikat oleh hartanya. Siapa yang rela melepaskan harta yang menjadi jaminan bagi masa depannya, apalagi jika harta itu adalah hasil kerja keras selama bertahun-tahun dengan pengorbanan yang besar? Terhadap perkataan Tuhan Yesus, “...pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, ...datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (10:21b), mungkin ada orang yang menjawab, “Enak aja! Yesus gak pernah ngerasain jadi orang kaya sih!” Uang itu sangat memikat (1 Timotius 6:9-10). Bila tidak hati-hati, ki-ta dapat lebih mencintai uang daripada mencintai Tuhan. Tantangannya adalah saat menerima berkat, saat itu juga kita harus bertekad untuk siap melepaskannya. Tanpa mindset seperti ini, kita pasti terikat dan semakin terikat saat berkat semakin menumpuk. Akhirnya, kita tidak siap mengikut Tuhan. Tuhan Yesus berkata, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku, dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Matius 10:37). Tidak ada orang atau barang yang boleh mengikat kita lebih daripada kita terikat dengan Tuhan Yesus. Semua ikatan (yang bukan dengan Tuhan) harus rela kita lepaskan. Kesulitan melepaskan ikatan ini bagaikan sulitnya orang tua (yang mengasihi anaknya) untuk melepaskan anak agar bisa terus bertumbuh dan semakin mandiri. Melepaskan ikatan itu harus dilatih setiap hari. Perlu diingat bahwa saat kita melepaskan sesuatu demi mengikut Tuhan Yesus, pada saat yang sama, kita akan mendapatkan kembali seratus kali lipat dibandingkan dengan apa yang telah kita lepaskan. Tuhan Yesus mengatakan, “Siapa Ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekelilingnya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudaraku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Markus 3:33b-35). Belajarlah melepaskan semua ikatan dan nikmatilah gantinya! [GI Mario Novanno]

Pernikahan dan Perceraian

Markus 10:1-16

Rancangan awal allah terhadap pernikahan adalah persatuan. Sebe- Inarnya, Allah sendirilah yang mempersatukan (". Dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu," Kejadian 2:22). Tidak pernah ada dalam rencana awal Allah tentang suatu saat, pernikahan akan berakhir dengan perceraian (Markus 10: 6-9). Dalam Efesus 5: 22-33, Rasul Paulus menjelaskan bagaimana semes- tinya hubungan pernikahan itu, yaitu seperti hubungan antara Kristus de- ngan jemaat. Sambil mengobrol dengan teman-teman, silakan. Tidak mungkin Kristus menceraikan jemaat. Tidak boleh jadi anggota tidak mau. Di pihak Kristus, la pasti akan mempertahankan jemaat-Nya, seburuk apa pun kondisi jemaat. Suami harus seperti Kristus! Di pihak jemaat, perlu menentang itu ketun- dukan terhadap Kristus menuntut kerelaan untuk menundukkan diri. Sungguh mengundang melihat ada orang-orang "Kristen" yang pergi ("menceraikan") Tuhan karena dikecewakan atau tidak cocok dengan Tuhan. Mengapa demikian? Juga cincin terjadi dalam hubungan suami istri. Jadi perceraian pada zaman ini dianggap sebagai hal yang lumrah? Perintah Tuhan tidak berubah,. apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. "(Markus 10: 9). Jika cerai lalu menikah lagi dengan wanita lain, Tuhan Yesus dengan lugas mengatakan," ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya, ,. ia melaksanakan zinah. "(10: 11-12). Pemberian surat cerai hanya mewakili ketegaran hati, baik hati si suami maupun hati si isteri (10: 4-5). ), tetapi juga terhadap anak (-anak). Lewat kesaksian yang buruk, anak-anak terhalang mendapatkan berkat yang penuh dari Kristus. Anak-anak kecewa dan marah terhadap keputusan orang tua mereka. perceraian terjadi, orang tua telah gagal menjadi wakil Allah, sehingga langsung orang tua bisa membuat anak-anak memilih untuk pergi dari Tuhan yang tidak dapat diandalkan. Tempatkan Tuhan pada tempatnya dalam proses persiapan pernikahan. Bagi mereka yang sedang bergumul dengan pernikahannya, ingatlah akan usaha kasih Kristus yang mati-matian mempertahankan "pernikahan" -Nya dengan kita. [GI Mario Novanno]

Ambisi yang Tidak Kudus

Markus 9:30-50

Kebanyakan orang akan senang jika diakui prestasinya. Prestasi memberi reputasi, dan pada akhirnya memberi posisi tertentu. Kebanyakan orang berharap menggapai posisi puncak. Kalau tidak/belum sampai titik itu, paling tidak banyak orang memperbincangkannya. Itulah bahan diskusi para murid Tuhan Yesus sepanjang perjalanan menuju Kapernaum (sebenarnya agak konyol karena mereka bukan sekadar membicarakan, melainkan mempertengkarkannya!). Mereka bukan hanya sekadar berharap memiliki posisi itu, tetapi mereka saling mempromosikan diri supaya layak disebut sebagai yang terbesar. Hal ini memperlihatkan kondisi hati mereka yang sebenarnya. Tidak salah menjadi yang terbesar kalau posisi itu diberikan Tuhan. Akan tetapi, bila posisi itu diusahakan demi ambisi pribadi, hati mereka berada jauh dari Tuhan. Ambisi mereka sangat tidak kudus! Tidak mengherankan bila mereka ingin mempersempit wilayah persaingan untuk menjadi yang “TER-” ini. Mereka sudah punya sebelas saingan yang berasal dari mereka sendiri, belum lagi murid-murid lain yang tidak dipilih seeksklusif mereka. Jadi, jangan ditambah lagi dengan orang lain yang bagi mereka sedang mencoba peruntungannya dengan menarik perhatian Yesus Kristus melalui pelayanan mengusir setan (9:38). Mereka harus mencegah orang lain yang bukan merupakan salah satu bagian dari mereka, namun mulai menarik pehatian orang banyak itu. Hati mereka sempit. Tuhan Yesus membalikkan semua pemikiran dan membongkar ketidaksalehan para murid. Cara menjadi terbesar adalah dengan memiliki hati yang lapang, tidak merasa terancam oleh mereka yang sedang melayani orang lain demi nama Tuhan, meskipun mereka bukan bagian dari kelompok para murid. Cara menjadi terbesar adalah dengan menjadi yang terkecil: menjadi pelayan bagi semua orang, bukan menjadi tuan atas orang lain. Kita harus membiarkan orang lain mendahului kita dan membiarkan diri kita menjadi yang terakhir. Jangan mau dikhawatirkan oleh pemikiran, “Jangan-jangan nanti saya tidak kebagian. Jangan-jangan nanti saya dihina dan direndahkan. Jangan-jangan nanti saya ditinggalkan. Jangan-jangan...” Bahkan, demi ambisi, seseorang mungkin mengambil keuntungan dengan menyesatkan ‘anak-anak kecil’. Jangan mementahkan dan mematahkan ajaran Tuhan Yesus yang berkata: “Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.” (9:50). [GI Mario Novanno]

Evaluasi Iman

Markus 9:14-29

Ada beberapa fakta menarik mengenai anak yang kerasukan roh yang membisukan dalam bacaan Alkitab hari ini. Di bagian yang paralel dalam Matius 17:15, anak ini sakit ayan dan sangat menderita serta sering jatuh ke dalam api dan ke dalam air. Hal itu dia alami sejak kecil (Markus 9:21). Bayangkan kepedihan hati orang tuanya yang telah tertimbun selama bertahun-tahun. Apa lagi, anak ini adalah anak satu-satunya (Lukas 9:38). Jelas bahwa orang tua anak ini pasti sudah mencari pertolongan ke mana-mana demi kesembuhan anak mereka. Harapan-mereka muncul setiap kali mendengar ada orang “hebat” yang sanggup mengusir roh jahat, tetapi mereka menuai kekecewaan karena anak mereka tetap tidak bisa sembuh. Ketika mendengar kabar tentang sosok Yesus Kristus yang berku-asa mengusir roh jahat, muncullah pengharapan sekiranya Yesus Kristus dapat menyembuhkan anak mereka. Akan tetapi, mereka tidak dapat segera bertemu dengan Yesus Kristus. Mula-mula, mereka bertemu dengan murid-murid Yesus Kristus yang menambah kekecewaan karena tidak bisa mengusir roh jahat dari anak mereka. Apakah nama Yesus Kristus kurang berkuasa? Apakah murid-murid kurang beriman? Kita tidak tahu, tetapi Yesus Kristus tahu apa yang ada dalam benak dan hati setiap murid-Nya. Ia berkata: “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa.” (Markus 9:29). Mungkinkah para murid sudah terbiasa mengusir roh jahat sehingga mereka menjadi terlalu percaya diri sehingga kurang menggantungkan diri pada kuasa Tuhan? Kita tahu bahwa berdoa adalah salah satu bentuk kebergantungan mutlak kepada Sang Sumber Hidup. Apakah si ayah yang kurang beriman? Datang kepada Yesus karena mendengar Dia dapat menyembuhkan satu hal, tetapi sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus Kristus dapat menyembuhkan adalah hal lain. Tidak mengherankan bila sang ayah ini berkata: “... Jika Engkau da-pat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami.” (9:22). Terde-ngar nada keputusasaan dalam kalimat itu. Keputusasaan membuahkan hasil yang seadanya saja. Mungkin, ia berkata dalam hati, “Minimal, kurangilah penderitaan anakku dan aku sebagai ayahnya. Paling tidak, angkatlah beberapa kebiasaannya yang mengancam jiwanya.” Bagaimana dengan iman kita? Mungkinkah sikap kita membuat Tuhan Yesus berkata, “Jika Aku dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya! Hai kamu angkatan yang tidak percaya!” [GI Mario Novanno]

Mengalami dan Memaknai

Markus 9:1-13

Hampir seminggu setelah la berkata, ". sesungguhnya di antara Lorang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat bahwa Kerajaan Allah telah datang dengan kuasa," Tuhan Yesus mengajak tiga orang terdekatnya untuk mengalami sedikit penggenapan firman-Nya. Petrus, Yakobus, dan Yohanes diajak naik ke atas gunung yang tinggi untuk menyaksikan kemuliaan Yesus Kristus serta kehadiran Musa dan Elia. Ajakan ini sangat eksklusif! Bagaimana perasaan mereka? Petrus berkata, "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini." (9:5). Akan tetapi, sebenarnya Petrus bingung dan mereka sangat ketakutan (9:6). Entah apa yang ada di benak mereka saat bertemu kembali dengan kesembilan murid yang lain. Mereka diminta Tuhan Yesus untuk tidak menceriterakan kepada seorang pun apa yang telah mereka saksikan hingga Anak manusia bangkit dari antara orang mati (9:9). Pasti ada keinginan besar untuk berbagi pengalaman yang luar biasa itu, tetapi mereka harus menahan diri untuk tidak membocorkannya. Mengapa? Tuhan Yesus pasti punya alasan yang tidak dapat disanggah untuk setiap hal yang la lakukan dan yang tidak la lakukan. Mengapa la hanya memilih tiga orang, bukan semua murid? Bukankah pemilihan yang eks- klusif berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan dalam relasi keduabelas murid-Nya? Apakah pemilihan itu hendak menghindarkan Yudas yang akan berkhianat atau Tomas yang selalu ingin bukti dan kadang-kadang sinis (Yohanes 13:21-26; 20:25; 11:16)? Kita tahu bahwa Petrus, Yakobus, dan Yohanes tidak lebih baik dari mereka. Petrus menyangkal Tuhan Yesus tiga kali, sedangkan Yakobus dan Yohanes adalah orang-orang yang ambisius (Markus 10:37). Apakah larangan menceritakan pengalaman melihat penampakan itu dimaksudkan untuk mencegah timbulnya konflik? Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat mungkin terlintas dalam benak/ pikiran kita. Tetapi kita harus hati-hati dalam menjawab karena kita cenderung untuk menjawab menurut kehendak kita. Di dunia ini hanya tiga orang itu yang melihat kemuliaan Tuhan Yesus. Akan tetapi, saat itu, mereka gagal memahami dan memaknai apa yang mereka alami. Mereka tidak menjadi lebih rohani dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Jika kita mengalami pengalaman yang spektakuler dan fenomenal. tidak ada jaminan bahwa kita akan menjadi lebih rohani dibandingkan dengan orang lain, malah kita bisa menjadi sombong rohani. Belajarlah memaknai pengalaman kita secara tepatl [GI Mario Novanno]

Komitmen Kesetiaan

Yosua 24

Di pasal terakhir kitab Yosua, kembali Yosua mengumpulkan semua orang Israel—termasuk para tua tua, para kepala, para hakim, dan para pemimpin pasukan—di Sikhem. Yosua mengingatkan akan kasih setia Allah yang telah menyertai orang Israel keluar dari Tanah Mesir dan selanjutnya membawa mereka ke tanah Kanaan. Selanjutnya, Yosua mengingatkan bahwa Allah telah memberikan tanah Kanaan kepada umat Israel seperti apa yang telah dijanjikan-Nya, sehingga semua suku Israel bisa mendapatkan milik pusaka mereka masing masing. Yosua juga mengingatkan bahwa dalam perjalanan keluar dari Tanah Mesir menuju Tanah Kanaan, bangsa Israel mengalami begitu banyak tantangan, namun kekuatan Allah telah memberikan mereka kemenangan demi kemenangan. Garis besar sejarah janji dan penyertaan TUHAN kepada bangsa Israel itu merupakan landasan dalam memberi tantangan kepada umat Israel agar memiliki komitmen untuk setia beribadah kepada TUHAN. Terhadap tantangan tersebut, bangsa Israel berjanji untuk setia beribadah hanya kepada Tuhan, Allah Israel. Untuk memperkuat komitmen (tekad) umat Israel, Yosua mengikat perjanjian dengan orang Israel, menuliskan ketetapan dan peraturan dalam kitab hukum Allah, lalu ia mengambil sebuah batu besar dan mendirikannya sebagai saksi (tanda peringatan). Komitmen untuk setia beribadah kepada Allah itu ditepati sepanjang zaman Yosua dan sepanjang zaman para tua-tua yang hidup lebih lama daripada Yosua. Kesetiaan yang dituntut Allah dari anak-anak-Nya adalah kesetiaan seumur hidup. Tidak mudah untuk bisa tetap setia kepada Allah. Untuk bisa tetap setia kepada Allah, kita perlu memiliki komitmen (tekad) yang kuat. Supaya kita bisa mempertahankan komitmen kita, kita perlu selalu mengingat kasih setia dan kebaikan TUHAN. Kita perlu selalu mengingat pertolongan yang pernah diberikan-Nya terhadap diri kita. Kita perlu secara berkala memperbarui tekad kita untuk setia kepada-Nya. Kita memerlukan simbol-simbol yang bisa dilihat ulang (tanda salib, tulisan/catatan, dan sebagainya) agar kita bisa mengingat tekad kita untuk setia kepada-Nya. Kita juga memerlukan sebuah komunitas yang akan segera mengingatkan kita bila kita salah jalan dan mulai meninggalkan TUHAN. Apakah Anda juga telah memiliki komitmen (tekad) untuk setia kepada Tuhan? [GI Mathindas Wenas/GI Purnama]