Waspadai Hoaks!

Hakim-hakim 20

Kebuasan orang-orang dursila di Gibea yang memperkosa gundik seorang Lewi—dan akhirnya menyebabkan tewasnya perempuan itu—berbuntut panjang, yaitu perang saudara antara suku Benyamin dengan suku-suku Israel yang lain. Perang saudara ini bermula dari tindakan seorang pria suku Lewi yang memutilasi tubuh gundiknya menjadi dua belas potong, lalu mengirim potongan tubuh gundiknya itu ke seluruh daerah orang Israel. Tindakan yang provokatif itu masih ditambah dengan kesaksian yang sebagian merupakan hoaks (20:4-5). Orang Lewi itu tidak terus terang menceritakan bahwa sebenarnya dialah yang menyerahkan gundiknya sendiri pada orang banyak untuk diperkosa (19:25). Orang Lewi itu sebenarnya hanya mencintai dirinya sendiri dan tidak benar-benar mencintai gundiknya. Dia mengadu domba orang-orang Gibea dengan seluruh suku Israel hanya untuk melampias-kan dendam karena merasa telah disakiti. Sekalipun kesaksian orang Lewi itu berlebihan, perlu disadari bahwa dosa orang-orang Gibea itu sangat serius karena dosa homoseksual itu sama dengan dosa penduduk Sodom pada zaman Lot, sehingga tidak mengherankan bila rakyat Israel memutuskan untuk menghukum orang-orang Gibea. Sebaliknya, patut disayangkan bahwa orang-orang dari suku Benyamin membela orang-orang Gibea secara membuta, sehingga terjadilah perang saudara yang menyedihkan. Puluhan ribu anggota pasukan yang gagah perkasa—baik dari suku-suku Israel maupun dari suku Benyamin—tewas dalam perang itu. Perang saudara itu nyaris memunahkan suku Benyamin. Mereka mengalami kerugian besar karena mereka membela penduduk Gibea yang merupakan orang-orang dursila!
Hoaks adalah salah satu faktor pemicu terjadinya konflik dan pembunuhan antar teman, antar saudara, antar keluarga, bahkan bisa memicu terjadinya perang antar bangsa. Saat ini, kita amat mudah mengakses informasi, baik melalui media publikasi resmi—TV, surat kabar, buku—maupun melalui media sosial. Sayangnya, sebagian berita yang beredar luas adalah hoaks (kabar bohong). Yang tragis, banyak orang memercayai—bahkan membela mati-matian—berita bohong tersebut. Apa yang biasanya Anda lakukan saat membaca atau mendengar sebuah berita menarik: langsung menyebarkan atau mengecek kebenarannya lebih dahulu? [RT]

Kebobrokan Moral Bangsa Israel

Hakim-hakim 19

Bacaan Alkitab hari ini memperlihatkan kemerosotan moral yang luar biasa yang terjadi karena bangsa Israel telah meninggalkan Tuhan. Kemerosotan moral tersebut memiliki kemiripan dengan kemerosotan moral di kota Sodom pada zaman Lot. Perhatikan bahwa perkataan ‚kami pakai‛ di kedua bagian Alkitab itu menunjuk kepada hubungan homoseksual (Hakim-hakim 19:22, Kejadian 19:5). Dalam kedua teks Alkitab tersebut, tuan rumah menawarkan anak perempuan mereka un-tuk diperkosa sebagai pengganti tamu pria (Hakim-hakim 19:24, Kejadian 19:8). Hal ini menunjukkan penghargaan yang sangat rendah terhadap kaum wanita. Sungguh keterlaluan bahwa tamu pria dianggap lebih berharga daripada anak wanita! Dalam bacaan Alkitab hari ini, sikap si orang Lewi terhadap gundiknya juga amat keterlaluan. Gundiknya itu dia ambil dari rumah orang tuanya. Akan tetapi, saat menghadapi bahaya, ia menangkap gundiknya, lalu menyerahkan gundiknya pada orang-orang dursila untuk diperkosa, sedangkan dia sendiri bisa tidur nyenyak sehingga tidak sadar saat gundiknya kembali dan kemudian tergeletak dalam keadaan tewas di depan pintu rumah (Hakim-hakim 19:26-27).
Dalam kelima pasal terakhir kitab Hakim-hakim, disebutkan bah-wa sumber masalah yang menyebabkan terjadinya kemerosotan moral adalah tidak adanya raja di Israel, yang membuat setiap orang mela-kukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri (17:6; 18:1; 19:1; 21:25). Akan tetapi, penjelasan semacam ini tidak boleh diartikan secara hurufiah. Berdasarkan pengajaran seluruh Alkitab, jelas bahwa Allah menghendaki agar umat-Nya memandang Allah sebagai Raja (misalnya perhatikan Mazmur 5:3; 10:16; 24:7-10; 44:5; 47:3,7-8). Kegagalan meman-dang Allah sebagai Raja membuat umat Israel tidak memiliki pegangan dan berbuat semaunya sendiri. Suku Lewi yang seharusnya memimpin peribadatan kepada Allah pun tidak melakukan tanggung jawabnya seperti yang terlihat dari sikap seorang Lewi yang bersedia digaji untuk menjadi imam di kuil milik Mikha (Hakim-hakim 17:7-12). Orang Lewi dalam bacaan Alkitab hari ini juga memperlihatkan standar moral yang amat rendah. Pada zaman ini, Allah menghendaki agar orang percaya menjalankan fungsi sebagai imam yang memberitakan karya Allah bagi dunia ini (1 Petrus 2:9). Apakah Anda sudah menjalankan fungsi sebagai imam dengan semestinya? [RT]

Kehendak Allah Harus Diutamakan!

Hakim-hakim 17-18

Sesudah Simson wafat, tidak ada pemimpin yang berwibawa di Israel. ‚Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri‛ (17:6). Kesimpulan yang menakutkan itu menunjukkan bahwa pada masa itu, tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak. Artinya, tidak ada kebenaran yang berlaku bagi semua orang. Semua kebenaran bersifat relatif. Artinya, setiap orang bisa menentukan sendiri apa yang dia anggap benar. Hal ini terlihat jelas dalam sikap ibu dari Mikha terhadap anaknya. Mikha adalah orang yang mencuri uang ibunya. Saat ibunya mengetahui bahwa uangnya dicuri, dia mengutuki orang yang mencari uang itu. Saat Mikha tahu bahwa ibunya mengutuk orang yang mencuri uangnya, Mikha segera mengembalikan uang itu. Saat ibu dari Mikha tahu bahwa yang mencuri adalah anaknya sendiri. dia mengubah kutuk menjadi berkat. Mikha memiliki kuil berhala yang juga diisi dengan Efod dan Terafim buatannya sendiri, lalu Mikha mempekerjakan orang Lewi untuk menjadi imam bagi dirinya. Jadi, ibadah kepada Allah telah bercampur dengan ibadah kafir. Dia berpikir bahwa beribadah kepada banyak ‚allah‛ akan membuat dia menjadi aman dan menerima lebih banyak berkat. Mikha tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian, dia telah menyakiti hati Allah.
Pencampuran kepercayaan seperti ini umum terjadi pada orang-orang yang orientasi atau arah hidupnya adalah mencari berkat, baik berupa nilai sekolah/kuliah bagus, jabatan yang tinggi dalam pekerjaan, tabungan yang banyak, dan sebagainya. Orientasi kehidupan semacam ini bisa membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan ‚berkat‛ yang dia inginkan. Akan tetapi, orang Kristen tidak boleh memiliki orientasi kehidupan semacam itu. Setiap orang yang hendak mengikut Kristus harus rela menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti rencana Kristus bagi kehidupan kita (Lukas 9:23). Menyangkal diri berarti tidak mengikuti keinginan hawa nafsu kita, melainkan mengikuti kehendak Allah. Memikul salib berarti bahwa kita harus rela mengalami apa saja—termasuk hal-hal yang tidak menyenangkan—asal kehendak Allah terlaksana dalam kehidupan kita. Apakah Anda bersedia menyesuaikan—bahkan bila perlu mengganti—rencana Anda dengan rencana Allah? Apakah Anda berani menyingkirkan segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah? [RT]

Menjadi Ciptaan Baru

Galatia 6:11-18

Bagian penutup sebuah surat sangat penting untuk memberikan kesan mendalam tentang apa yang sudah dituliskan. Rasul Paulus menuliskan bagian ini dengan huruf-huruf yang besar. Sebagian orang menduga bahwa dia melakukan hal itu karena ada masalah penglihatan. Tetapi, jauh lebih mungkin bahwa dia melakukan hal itu untuk menekankan betapa pentingnya apa yang dia tuliskan.
Ada dua hal yang dia bandingkan: Pertama, di ayat 12-13, Rasul Paulus menunjukkan bahwa cara hidup kelompok pengacau di Galatia adalah contoh kehidupan berdasarkan “daging”. Motivasi mereka memaksa jemaat Galatia untuk disunat bukan supaya jemaat Galatia memiliki kehidupan rohani yang baik, melainkan agar mereka bisa menonjolkan diri sebagai orang yang bersunat dan berhasil memaksa orang lain untuk bersunat. Kebanggaan mereka adalah pada hal lahiriah semata. Rasul Paulus lalu menuduh bahwa mereka sesungguhnya hanya berusaha menghindari penganiayaan karena salib Kristus. Kedua, di ayat 14-15, Rasul Paulus menunjukkan kontras dengan mereka, yaitu ia hidup sesuai dengan salib Kristus. Bagi rasul Paulus, satu-satunya alasan untuk bermegah adalah salib Kristus. Percaya kepada salib bukan saja berarti percaya bahwa Kristus mati bagi kita, tetapi juga sadar bahwa kita harus menganggap diri kita mati bersama dengan Kristus. Bila kita mati bersama dengan Kristus, cara hidup dunia tidak lagi berkuasa atas hidup kita. Manusia lama kita yang mengikuti cara hidup dunia sudah mati. Kita menjadi “ciptaan baru” (6:15) dan itulah satu-satunya yang berarti.
Rasul Paulus menutup surat ini dengan ucapan berkat (6:16, 18) serta peringatan bahwa dia memiliki otoritas sebagai rasul yang mende-rita bagi Kristus (6:17). Perhatikan bahwa dia menujukan berkatnya bagi “semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini” (6:16). Hidup Kristen dimulai dengan iman kepada Kristus yang membebaskan kita dari perbudakan dosa serta kewajiban mengikuti hukum Taurat. Tetapi, hidup Kristen bukanlah hidup tanpa patokan. Ada standar atau hukum yang baru yang harus kita jalani, yang berbeda dengan hukum Taurat. Hukum yang baru itu adalah hukum Kristus, yaitu mengasihi satu sama lain dan hidup benar di hadapan Allah. Standar yang baru itu adalah standar Roh Kudus, yaitu mengikuti pimpinan-Nya dan membiarkan kuasa-Nya bekerja menghasilkan buah dalam hidup kita. Itulah hidup Kristen. Sudahkah Anda hidup seperti itu? [Pdt. Jeffrey Siauw]

Keputusan Setiap Hari

Galatia 6:1-10

Setelah rasul Paulus meyakinkan jemaat Galatia akan hidup Kristen mereka yang diawali dengan iman dan menerima Roh Kudus, dan karena itu harus dilanjutkan dengan mengikuti pimpinan Roh Kudus, mereka mungkin bertanya: “Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?”
Surat Galatia mengindikasikan bahwa ada banyak masalah relasi yang terjadi di tengah jemaat. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus memberi berbagai contoh praktis tentang bagaimana memakai kemerdekaan dalam Kristus, bukan sebagai kesempatan berdosa, tetapi untuk saling melayani dalam kasih (lihat 5:13-14). Sekarang, mereka yang hidup dipimpin oleh Roh harus membawa pemulihan di tengah kehidup-an jemaat. Rasul Paulus menyebutkan tanggung jawab mereka kepada satu sama lain: “Memimpin orang ke jalan yang benar”, “bertolong-tolongan menanggung beban”, “membagi segala yang ada dengan orang yang mengajar”, “berbuat baik kepada semua orang, terutama kawan seiman”. Cara hidup seperti demikian adalah cara hidup yang “memenuhi hukum Kristus” (6:2). Kemerdekaan di dalam Kristus bukan berarti bebas untuk berdosa, tetapi bebas untuk mengikuti kehendak Kristus. Selain menyebutkan tanggung jawab mereka kepada satu sama lain, Rasul Paulus juga menyebutkan tanggung jawab mereka kepada Tuhan, yaitu “menjaga diri sendiri”, ”tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri... memikul tanggungannya sendiri”, “jangan sesat ... apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya”. Kepedulian kita kepada satu sama lain harus diimbangi dengan integritas kita berjalan secara pribadi di hadapan Allah.
Kalimat kuncinya adalah: “Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barang-siapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (6:8). Di dalam surat Galatia, kalimat ini berarti barangsiapa ber-gantung pada kekuatannya sendiri untuk keselamatan dan membiarkan “daging”—yaitu dirinya yang lemah—menguasai keinginannya, ia akan menuai kebinasaan. Sebaliknya, barangsiapa memulai hidup oleh Roh dan terus menjalani hidup dengan mengikuti pimpinan Roh, ia pasti akan menerima hasilnya pada akhirnya, yaitu hidup yang kekal. Tetapi, kita harus selalu membuat pilihan—menabur dalam daging atau dalam Roh. Keputusan untuk memilih Kristus dan mengikuti pimpinan Roh tidak dibuat satu kali, tetapi setiap hari! [Pdt. Jeffrey Siauw]

Dua Pilihan Cara Hidup

Galatia 5:16-26

Surat Galatia ditujukan kepada orang-orang percaya yang sudah menerima Roh Kudus. Akan tetapi, Rasul Paulus tahu bahwa sangat mudah bagi mereka untuk kembali hidup seperti sebelum percaya, yaitu bergantung pada kekuatan sendiri, dan hidup seperti tanpa Roh Kudus.
Bagi Rasul Paulus, “daging” (5:16,17,19,24) adalah keberadaan kita sebagai manusia dengan segala kelemahan dan kecenderungan untuk berdosa. “Daging” memiliki keinginan yang sudah dirusak oleh dosa. Dengan bersandar kepada hukum Taurat, jemaat Galatia sebetulnya sedang bersandar kepada “daging” yaitu kemampuan mereka sendiri. Jika mereka berpikir bahwa melakukan hukum Taurat akan membuat mereka dibenarkan di Kerajaan Allah, Rasul Paulus justru menunjukkan bahwa “daging” yang lemah dan berdosa itu akan menuntun mereka kepada berbagai perbuatan jahat yang tidak diterima di Kerajaan Allah (5:19-21). Sebaliknya, Rasul Paulus mengingatkan bahwa mereka sudah menerima Roh Kudus saat percaya kepada Kristus. Maka, “jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (5:25). Mereka sudah memulai hidup rohani mereka dengan Roh Kudus, maka seharusnya mereka melanjutkan hidup rohani mereka dengan dipimpin oleh Roh Kudus. Jika mereka memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus, mereka tidak akan menuruti keinginan daging. “Daging” mereka yang lemah akan mengingini yang jahat, tetapi Roh Kudus akan menggantinya dengan keinginan Roh. Dengan demikian, Roh Kudus akan bekerja dan menghasilkan buah Roh di dalam kehidupan mereka (5:22-23).
Kehadiran Roh Kudus di dalam orang percaya bukanlah sekadar kehadiran kuasa supra natural, walaupun itu benar. Kehadiran Roh Ku-dus juga bukan sekadar memampukan kita untuk hidup sesuai kehendak Allah, walaupun itu juga benar. Tetapi, kehadiran Roh Kudus juga meng-atur cara hidup kita. Kemerdekaan kita di dalam Kristus tidak berarti kebebasan mengikuti keinginan daging. Orang percaya harus “hidup oleh Roh” (5:16; terjemahan lama: “berjalan dengan Roh”), “dipimpin oleh Roh” (5:18, 25) dan karenanya menghasilkan “buah Roh” (5:22-23). Pertanyaannya: Apakah Anda menyerahkan diri Anda dipimpin oleh Roh (dengan membangun relasi dengan Allah, taat kepada firman-Nya, mengikuti pimpinan-Nya, dan mengalami buah Roh dihasilkan di dalam hidup Anda)? Atau, apakah Anda masih bergantung kepada “daging” untuk hidup rohani Anda dengan mengandalkan kekuatan sendiri? [Pdt. Jeffrey Siauw]

Iman yang Bekerja oleh Kasih

Galatia 5:1-15

Apa salahnya jika kita percaya pada Kristus sambil melakukan hukum Taurat? Bukankah keduanya—percaya akan kasih karunia dan tetap melakukan hukum Taurat—bisa menjadi pegangan hidup. Pemikiran itu sepintas lalu terlihat tidak salah. Hidup Kristen memang bukan hanya so-al menerima keselamatan, tetapi juga mengerjakan keselamatan (ban-dingkan dengan Filipi 2:12). Akan tetapi, salah besar bila kita ragu bahwa kasih karunia Kristus cukup bagi kita, sehingga kita perlu melakukan sesu-atu sebagai tambahan. Bagi Rasul Paulus, pilihannya adalah Kristus atau Taurat, kasih karunia atau kekuatan sendiri, tidak ada pilihan tengah. “Jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.... Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia.” (5:2-4). Kelompok pengacau di Galatia membuat jemaat tidak lagi menuruti kebenaran Injil dengan mengajarkan bahwa mereka belum benar-benar menjadi anak-anak Abraham dan pewaris janji Allah jika mereka tidak hidup mengikuti hukum Taurat. Ajaran itu mengacaukan seluruh jemaat Galatia. “Sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan” (5:9).
Menunjukkan kesalahan dan kepalsuan ajaran dari sekelompok orang di dalam gereja tidak pernah menyenangkan. Akan tetapi, hal itu harus dilakukan. Masalah hari ini di dalam gereja tentu bukanlah soal sunat atau hukum Taurat. Masalahnya bisa fokus kepada Kristus diganti dengan kebutuhan dan perasaan sesama manusia. Bisa pula masalahnya justru adalah kebebasan yang tanpa batas—semua orang berhak melakukan apa pun yang dia suka. Fokus kita haruslah selalu kepada Kristus, yaitu iman kepada Kristus yang menyelamatkan kita, dan bukan yang lain. Bagi kita yang berada di dalam Kristus, Roh Kudus akan mengarahkan kita untuk mengharapkan kebenaran hanya karena iman. Akan tetapi, Rasul Paulus menambahkan bahwa iman yang benar bukanlah iman yang diam, melainkan iman yang nyata lewat kasih (5:6). Semua ajaran yang bertentangan dengan itu harus ditentang.
Satu-satunya yang penting adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (5:6). Jangan terlalu berfokus pada “kasih”, kemudian atas nama “kasih kepada sesama” melawan Tuhan. Jangan pula berfokus pada “iman” yang tidak menghasilkan perbuatan. Keduanya harus ada dengan urutan yang tepat: Mulailah dengan iman dan kasih kepada Kristus, lalu hasilkanlah hidup yang mengasihi sesama! [Pdt. Jeffrey Siauw]

Identitas Sebagai Orang Merdeka

Galatia 4:21-31

Ketika terjadi pertempuran antara dua buah perahu, strategi yang terbaik bukanlah mengalahkan penumpang di perahu lain tetapi menenggelamkan perahunya. Seperti itulah yang dilakukan Rasul Paulus di sini. Karena kelompok pengacau di Galatia berargumen dengan memakai Taurat, ia berkata, “Betulkah hukum Taurat mengajarkan apa yang dikatakan para pengacau itu, atau membenarkan apa yang kuberitakan bahwa hidupmu tidak berada di bawah Taurat?”
Rasul Paulus lalu memakai kiasan dengan membandingkan Sara dan Hagar. Hagar dikaitkan dengan gunung Sinai tempat hukum Taurat diberikan dan perhambaan (4:24-25), sedangkan Sara dikaitkan dengan Yerusalem sorgawi dan kemerdekaan (4:26) yang menerima anak mela-lui janji (4:27). Rasul Paulus berkata tentang Sara, “ialah ibu kita” (4:26) dan “kamu sama seperti Ishak adalah anak-anak janji” (4:28). Maksud-nya jelas. Ada dua macam “anak Abraham”. Yang satu adalah yang diperanakkan menurut daging (4:29), diikat dengan hukum Taurat, dan sesungguhnya bukanlah anak, melainkan hamba. Yang satu lagi adalah “anak Abraham” yang sesungguhnya, yaitu yang diperanakkan menurut Roh (4:29) dan merupakan orang merdeka. Jemaat Galatia menjadi “anak Abraham” menurut janji, sama seperti Ishak yang diperanakkan menurut Roh dan merupakan orang merdeka. Rasul Paulus menegaskan bahwa inilah yang dikatakan oleh Taurat. Maka, bagaimana mungkin mereka—berdasarkan Taurat—justru memilih menjadi anak Hagar? Lalu, apa yang dikatakan Kitab Suci untuk situasi yang dialami jemaat Galatia? Jawabannya adalah, “Usirlah hamba perempuan itu ....” (4:30). Bukan saja mereka harus menolak ajaran kelompok pengacau di Gala-tia, tetapi mereka juga diminta untuk mengusir orang-orang itu.
Rasul Paulus kembali mengingatkan siapakah jemaat Galatia yang sesungguhnya: Mereka adalah “anak-anak perempuan merdeka” (4:31). Maka mereka tidak boleh kembali kepada perhambaan. Sebaliknya, mereka harus belajar mengekspresikan kemerdekaan mereka dengan berjalan di dalam Roh. Identitas yang jelas sebagai “anak Abraham”, pewaris janji hidup yang kekal, dan orang merdeka yang mengikuti Roh Kudus, akan menentukan bagaimana mereka hidup. Apakah identitas Anda yang jelas sebagai anak-anak Allah, orang-orang tebusan Kristus, telah mengubah kehidupan Anda? [Pdt. Jeffrey Siauw]

Menegur Dengan Kasih

Galatia 4:12-20

Menegur kesalahan orang, apalagi agar teguran itu efektif, adalah sulit. Hal itu juga dialami oleh Rasul Paulus. Dia tahu bahwa tidak cukup menegur jemaat Galatia dengan menunjukkan kesalahan mereka atau menjelaskan apa yang dia inginkan dari mereka. Maka. di dalam bagian ini, Rasul Paulus mengingatkan jemaat Galatia akan hubungannya dengan mereka yang mesra dan betapa dia mengasihi mereka.
Permohonan Rasul Paulus adalah “jadilah sama seperti aku” (4:12). Dia memanggil jemaat Galatia untuk meniru dia dalam kesetiaan kepa-da berita Injil (2:5, 14). Dia menantang mereka untuk mati oleh hukum Taurat supaya hidup untuk Allah (2:19-20). Dia memohon agar mereka menjaga kemerdekaan mereka dan menikmati semua berkat yang terse-dia bagi mereka karena iman kepada Kristus (3:6-4:7). Permohonan ini didasarkan pada beberapa hal: Pertama, dia mengingatkan bahwa dia telah menjadi sama seperti mereka (4:12). Ketika memberitakan Injil kepada mereka, Rasul Paulus hidup seperti mereka. Dia tidak membuat jarak sama sekali antara dirinya dengan mereka. Dia menunjukkan bah-wa yang terpenting adalah iman kepada Kristus dan bukan hidup seperti orang Yahudi atau seperti orang Yunani. Kedua, dia mengingatkan mereka akan kasih mereka kepadanya (4:12-16). Waktu itu, mereka menyambut dia seperti menyambut Kristus Yesus dan mereka begitu bersukacita karena Injil yang dia beritakan kepada mereka, sehingga mereka rela mengorbankan apa saja untuk dia. Ketiga, dia menunjukkan bahwa kelompok pengacau di Galatia memiliki motivasi yang buruk—kontras dengan dia yang mengasihi mereka. Dia mengasihi mereka bukan saja dulu ketika memberitakan Injil kepada mereka, tetapi juga sekarang ketika mereka mengikuti Injil lain. Ia seperti seorang ibu yang sakit bersalin karena mereka (4:19).
Ada dua hal yang kita pelajari dari rasul Paulus di sini. Pertama, kasihnya yang luar biasa. Ia sangat menguatirkan jemaat Galatia. Apa yang akan terjadi bila mereka terus mengikuti Injil yang lain? Rasul Paulus tidak bisa tinggal diam karena dia mengasihi mereka seperti seorang ibu mengasihi anaknya. Apakah kita juga sangat mengasihi orang-orang yang kita layani? Kedua, dia menunjukkan kasih itu dengan tidak malu. Seringkali kita perlu menunjukkan dengan lebih jelas kasih sayang di balik teguran kita, apa lagi bila masalahnya berkaitan dengan Injil. Pikirkanlah bagaimana Anda akan melakukannya! [Pdt. Jeffrey Siauw]

Hidup Sebagai Anak-Anak Allah

Galatia 4:1-11

Ada seorang kaya yang meninggalkan sejumlah besar warisan untuk anaknya. Ia berpesan kepada orang kepercayaannya untuk mendidik anaknya dan menjaga warisan itu sampai anaknya dewasa. Artinya, sebelum anak itu dewasa, ia harus hidup sama seperti hamba yang lain. Waktu pun berlalu dan tibalah saatnya anak itu menerima warisan ayahnya. Tetapi, ternyata dia lebih suka hidup sebagai hamba! Sangat bodoh! Itulah ilustrasi yang dipakai rasul Paulus di sini untuk jemaat Galatia. Sejujurnya, ilustrasi ini tidak sempurna menjelaskan maksud sesungguhnya. Tetapi, sampai batas tertentu, ilustrasi ini cukup untuk membuat kita mengerti. Dulu orang Yahudi takluk kepada hukum Taurat dan orang Yunani takluk kepada ilah-ilah lain. Ketika waktunya sudah genap, Allah mengutus Kristus untuk menjadikan mereka sebagai anak. Sekarang, mereka sudah menjadi anak. Artinya, mereka sudah me-nerima warisan yang dijanjikan, yaitu hidup kekal. Bagaimana mungkin mereka lebih suka untuk hidup seperti saat belum mengenal Kristus?
Hukum Taurat diperlukan saat itu untuk menjaga mereka. Tetapi, ketika Kristus sudah menebus mereka, keinginan untuk kembali berada di bawah hukum Taurat merupakan sebuah kebodohan. Bagi rasul Paulus, berada di bawah hukum Taurat itu berarti berbalik dan memperhamba-kan diri kepada “roh-roh dunia yang lemah dan miskin” (4:9). Status kita sebagai anak dikonfirmasi oleh Bapa dengan mengutus Roh Kudus ke dalam hati kita. Roh itu yang meyakinkan kita untuk berseru: “ya Abba, ya Bapa!” - sebuah sebutan yang sangat intim dari seorang anak kepada ayahnya. Keyakinan ini bukan karena hasil studi atau keberhasilan moral kita, melainkan merupakan hasil pekerjaan Roh Kudus.
“Bagaimana mungkin kamu mau diperhamba lagi?” - Rasul Paulus berseru kepada jemaat Galatia. Apakah kita sama berdukanya seperti Rasul Paulus ketika ada yang mengajarkan hidup Kristen sebagai ketaatan kepada “hukum”? Apakah kita terganggu ketika orang Kristen lebih menekankan menjaga tradisi tertentu daripada menjaga relasi dengan Bapa melalui Kristus dengan kuasa Roh Kudus? Apakah kita memperhatikan bagaimana kasih kita kepada Allah atau hanya sekadar memikirkan bagaimana kita hidup? Mungkin kita ingin memperbaiki kelakuan kita. Tetapi, yang perlu kita lakukan adalah mulai dengan mengasihi Allah. Hidup yang kudus dan taat kepada Kristus adalah hasil yang pasti dari hidup yang dekat dengan Allah. [Pdt. Jeffrey Siauw]