Cukuplah Itu!

1 Timotius 6:1-10

Gereja abad pertengahan menyaksikan ketegangan dan intrik antara kaisar dan pemimpin gereja. Para pemimpin gereja sering meme-gang hak atas tanah yang luas dan sangat berkuasa, sehingga mereka dapat menentukan hidup matinya seorang kaisar. Para kaisar—dalam upaya mengamankan posisi mereka—menawarkan jabatan pemimpin gereja dan mengangkat mereka yang bersedia berdiri di belakangnya. Dalam situasi demikian, ordo pengemis—atau mendicant order seperti ordo Fransiskan—dilahirkan. Pengaruh kekayaan terhadap men-talitas dan perilaku para biarawan serta pejabat gereja pada masanya amat mengerikan. Fransiskus memutuskan untuk melarang para biara-wannya memiliki apa pun juga. Ketika salah seorang biarawannya pulang dengan sukacita karena seseorang telah memberinya kepingan emas, Fransiskus menyuruh biarawan tersebut meletakkan kepingan emas itu di bibirnya kemudian membenamkan keping emas tersebut ke dalam tumpukan kotoran dengan bibirnya. Menurut Fransiskus, itulah tempat yang tepat bagi kepingan emas tersebut. Tentu saja tidak semua orang dipanggil untuk hidup seperti Fransiskus dan para biarawannya. Walaupun demikian, tidak dapat disangkal bahwa uang bukan hanya dapat menjadi hamba yang baik, tetapi juga dapat menjadi tuan yang kejam. Tuhan Yesus sendiri mengajar banyak hal tentang uang. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus mengingatkan Timotius agar memelihara rasa cukup dalam diri-nya. Beliau seakan-akan berkata bahwa ibadah yang tidak disertai rasa cukup tidak banyak manfaatnya (6:6). Keinginan menjadi kaya bukan hanya membawa orang ke dalam pencobaan atau jerat yang dapat mencelakakan, tetapi juga dapat membuat seseorang menyimpang dari imannya. Tanpa rasa cukup, mendapatkan Allah pun bisa saja terasa tidak berarti apa-apa! Marilah kita meneladani sebuah doa dalam Amsal 30:7-9, “Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati ma-kanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.” [HL]

Bertindak tanpa Memihak

1 Timotius 5:17-25

Tidak ada musuh atau teman permanen dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan permanen. Kalimat ini sering kita dengar. Sebagaimana musuh politik dapat menjadi sekutu karena kepentingan esok hari, demikianlah teman politik dapat ditusuk dari belakang saat ada kepentingan yang berseberangan. Dalam politik, penilaian sarat kepentingan dan kebenaran merupakan barang antik nan langka. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus mengingatkan Timo-tius agar selalu bersikap objektif dan bertindak tanpa memihak dalam segala hal. Di satu sisi, Timotius harus menghormati para penatua yang baik pimpinannya dan memperlakukan mereka dengan sepatutnya. Di sisi lain, Timotius harus terbuka untuk menerima tuduhan terhadap para penatua itu bila terdapat cukup saksi. Bahkan, ia harus menegur mereka yang terbukti bersalah, bila perlu menegur secara terbuka. Dasar nasihat Rasul Paulus bukan sekadar kenyataan bahwa ke-benaran akan segera nyata dan tidak dapat terus tersembunyi di hadap-an manusia. Beliau sadar betul bahwa hidup kita senantiasa terbuka dan transparan di hadapan Allah atau Coram Deo. Tidak ada yang ter-sembunyi di hadapan Allah. Allah, Kristus Yesus, dan malaikat-malaikat pilihan-Nya adalah saksi atas segala sesuatu. Apa makna hal itu bagi kita? Di satu sisi, kita bersukacita bahwa pada akhirnya, yang benar akan dinyatakan sebagai benar dan yang salah akan dinyatakan sebagai salah oleh Allah. Di sisi lain, kenyataan ini seharusnya membuat kita hidup de-ngan gentar karena kita tahu bahwa kita harus mempertanggungja-wabkan pikiran, perkataan, dan tindak tanduk kita, bukan hanya di hadapan manusia, tetapi juga—terutama—di hadapan Allah Tritunggal. Sayang sekali, sejarah mencatat adanya orang-orang percaya atau para pemimpin gereja yang sangat memikirkan kepentingan diri sendiri, subjektif, dan memandang bulu, baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Hari ini, bagaimana cara Anda bertindak? Apakah Anda bertindak tanpa memihak saat anak-anak Anda bertengkar? Apakah Anda berlaku murni terhadap rekan-rekan kerja dan rekan-rekan sepelayanan Anda? Apakah Anda menghormati mereka yang memang layak menerima hormat, dan Anda mengingatkan—bahkan menegur—mereka yang terbukti bersalah? [HL]

Menolong Mereka yang Lemah

1 Timotius 5:1-16

Sati atau sutee adalah tradisi keagamaan yang mengajarkan bahwa saat seorang suami meninggal, jandanya dapat memilih—belakangan menjadi kewajiban—untuk mati bersama dengan suaminya, baik dengan cara dikubur hidup-hidup atau ditenggelamkan bersama jasad suaminya, bahkan ada yang dibakar hidup-hidup bersama jasad sang suami. Saat William Carey dan rekan-rekan misionarisnya tiba di India dan menyaksikan praktik tersebut, mereka menentang tradisi tersebut dan mereka berjuang selama beberapa puluh tahun sampai akhirnya praktik tersebut resmi dilarang oleh hukum. Para perempuan, apalagi janda, sering menjadi objek penderita dalam banyak budaya. Kekristenan menaruh perhatian yang sangat besar terhadap mereka. Banyak ayat dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang mencatat bahwa TUHAN melawat para janda. Tanpa suami yang mendukung, nyaris tidak ada kesempatan bagi para janda untuk mencari nafkah. Para janda di abad pertama adalah kelompok yang sangat rentan saat berhadapan dengan masalah sosial, ekonomi, bahkan spiritual. Untuk menolong mereka, Rasul Paulus memberi beberapa arahan: Pertama, orang percaya harus memelihara anggota keluarga mereka yang berstatus janda: “... seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.” (5:8). Kedua, Rasul Paulus mengingatkan para janda—mungkin menunjuk kepada mereka yang ditinggal mati oleh suami yang berada—agar tidak hidup mewah. Ajaran ini ditekankan kepada semua orang percaya dan masih tetap relevan di zaman yang mendorong praktik hidup konsumtif seperti saat ini. Ketiga, Rasul Paulus menekankan bahwa para janda mempunyai tanggung jawab dalam gereja dan masyarakat. Rasul Paulus mendorong para janda yang masih muda untuk kawin lagi, beroleh anak, dan mengurus rumah tangga sebagai cara mereka memuliakan TUHAN. Rasul Paulus juga meng-ingatkan para janda yang sudah tua agar ikut melakukan berbagai jenis pelayanan. Bagaimanakah sikap Anda terhadap kerabat Anda yang lemah dan kurang mampu? Apakah gereja sudah memberdayakan jemaat—termasuk yang paling lemah—dalam pelayanan gereja? [HL]

Awasi Dirimu dan Awasi Ajaranmu

1 Timotius 4

Dalam pasal ini, Rasul Paulus mengingatkan Timotius bahwa akan tiba waktunya, ada orang yang akan murtad karena terpengaruh oleh ajaran sesat. Ajaran sesat tersebut mencakup larangan terhadap perkawinan dan memakan makanan tertentu. Perlu diingat bahwa ajaran ini tidak menunjuk pada praktik para imam Gereja Katolik saat ini yang hidup selibat—artinya tidak menikah—dan berpantang makanan tertentu pada waktu-waktu tertentu. Sebagian penafsir berpendapat bahwa ajaran sesat tersebut adalah salah satu bentuk awal Gnostisisme yang beranggapan bahwa materi adalah jahat. Akan tetapi, kita tidak tahu dengan tepat ajaran sesat yang dimaksud oleh Rasul Paulus di sini. Rasul Paulus setidaknya menunjukkan tiga alasan yang menyebab-kan murtad: Pertama, alasan spiritual, yakni murtad karena pekerjaan roh penyesat. Kedua, murtad karena ajaran setan yang diajarkan melalui manusia-manusia pendusta. Ketiga, murtad karena hati nurani terkonta-minasi atau tercemar oleh dosa. Bagaimana cara menghadapi ajaran sesat di atas? Rasul Paulus mengajarkan dua pokok penting yang berkaitan dengan masalah ini: Pertama, Rasul Paulus mengingatkan bahwa pada dasarnya, segala yang diciptakan Allah—baik yang spiritual maupun yang materi—baik adanya. Kitab Kejadian mencatat bahwa Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Oleh karena itu, bagi Rasul Paulus, tidak ada ciptaan Allah yang haram untuk dimakan jika makanan itu diterima dengan ucapan syukur, karena semua makanan dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa. Kedua, Rasul Paulus mengingatkan Timotius agar berpegang pada pokok-pokok iman dan ajaran sehat, serta setia mengajarkannya. Tentu saja, agar dapat mengajarkan pokok-pokok iman dan ajaran sehat, Timotius harus terlebih dahulu memahami pokok-pokok iman dan ajaran sehat itu. Timotius harus melatih diri serta mengawasi diri dan ajarannya agar dia dapat menyelamatkan dirinya dan orang-orang yang mende-ngarkannya dari roh-roh penyesat dan ajaran mereka. Hari ini, ajaran sesat muncul dalam berbagai bentuk. Sudahkah Anda melatih diri serta mengawasi ajaran dan diri Anda? Hanya dengan demikian kita akan menyelamatkan diri kita dan orang-orang yang mendengarkan kita. [HL]

Karakter dan Substansi

1 Timotius 3

Kualitas kepemimpinan itu amat ditentukan oleh kualitas karakter dan kemampuan memimpin. Masalahnya, ternyata begitu banyak pemimpin yang tidak mempunyai kualitas karakter yang baik serta ke-mampuan yang memadai. Bahkan, beberapa pemimpin tidak mempunyai keduanya. Lebih parah lagi, beberapa pakar kepemimpinan mendapati bahwa 1 dari 5 pemimpin adalah psikopat—artinya memiliki kelainan jiwa. Seorang penulis menyebutkan bahwa 56% karyawan dipimpin oleh pemimpin yang toxic atau beracun, yaitu pemimpin yang bertindak semaunya, sehingga suasana kerja menjadi tidak nyaman karena para bawahan sering merasa terancam. Toxic leadership atau kepemimpinan beracun bukan hanya masalah dalam kepemimpinan sekuler, tetapi juga dalam kepemimpinan rohani. Sejarah mencatat dengan tinta hitam ke-beradaan pemimpin rohani—baik dalam Alkitab maupun dalam sejarah gereja—yang menjerumuskan orang beriman ke dalam keterpurukan, keserakahan, perpecahan, bahkan ke dalam gelimang lumpur dosa. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus mengingatkan Timo-tius tentang pentingnya pemimpin rohani—penilik jemaat dan diaken—yang saleh dan terhormat bagi kehidupan jemaat TUHAN. Seorang pemimpin rohani harus memiliki karakter tak bercacat, yang antara lain ditunjukkan melalui kesetiaan terhadap satu istri/suami dan perilaku sebagai ayah/ibu yang dihormati anak-anaknya. Orang yang tidak bisa menjadi pemimpin yang baik dalam keluarganya sendiri bukanlah calon pemimpin rohani yang tepat bagi Keluarga Allah. Kualifikasi penting yang lain adalah bahwa seorang pemimpin rohani haruslah seorang petobat—yakni seorang yang telah dilahirkan kembali—bahkan seorang yang dewasa secara rohani. Seorang yang belum dilahirkan kembali tidak akan mampu memimpin dengan pimpin-an Roh Kudus, melainkan akan memimpin secara duniawi. Orang yang belum dewasa secara rohani akan rentan diombang-ambingkan oleh tantangan kepemimpinan seperti kekayaan, kekuasaan, dan seks. Bila Allah memercayakan posisi kepemimpinan, apakah Anda memenuhi persyaratan dari sisi karakter dan kerohanian? Dalam posisi Anda saat ini sebagai suami/istri, orang tua/anak, pegawai/pemimpin perusahaan, majelis gereja, atau posisi apa pun, apakah Anda telah melakukan tanggung jawab Anda sesuai dengan kehendak Allah? [HL]

Mengenal Tuhan: Kunci Pengharapan

Mazmur 30

Apa hubungan antara Mazmur 30:1 dengan ayat-ayat selanjutnya? Saat membaca mazmur ini, mungkin Anda sulit melihat kaitan mazmur ini dengan urusan penahbisan Bait Suci. Kesulitan ini disebabkan karena mungkin Daud menulis mazmur ini saat ia mendirikan mezbah di tempat pengirikan Ornan (1 Tawarikh 21:1-22:6), tetapi tidak ada infor-masi dari teks yang kita baca tentang kemungkinan ini. Saat itu, Daud berhadapan dengan situasi yang sangat sulit. Ia menuai akibat dari kesombongannya. Tujuh puluh ribu orang Israel tewas karena tulah berupa penyakit sampar yang merupakan pilihan Daud sendiri. Perha-tikan bahwa kesalahan seorang pemimpin bisa berdampak pada para pengikutnya. Daud tidak tahan melihat berlangsungnya wabah itu, sehingga ia meminta belas kasihan Tuhan. Ia sedih karena kesalahannya berimbas pada rakyatnya. Daud berseru kepada Tuhan, lalu ia mengikuti petunjuk Tuhan untuk mendirikan mezbah di lokasi yang kelak menjadi tempat Bait Allah didirikan, lalu tulah itu berhenti.
Daud berseru dan meminta pertolongan Tuhan karena ia menge-nal Tuhan dengan benar (1 Tawarikh 21:13). Perhatikan keyakinan Daud, “Sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati.” (Mazmur 30:6). Keyakinannya membuat Daud mampu memaknai pengalamannya dengan benar. Keyakinan Daud juga membuat ia sanggup bangkit kembali dan tetap menempatkan Tuhan sebagai segala-galanya dalam hidupnya. Perhatikan karya Tuhan yang dicatat Daud hampir di setiap ayat dalam Mazmur 30 ini. Bayangkanlah bahwa Daud seolah-olah sedang bernyanyi dan menari di depan Anda. Rasakanlah luapan emosi serta entakan tangan dan kakinya. Jelas bahwa Daud bersukacita karena mendapat kelepasan dan kelegaan besar dari Tuhan. Kapan terakhir kali Anda mendapat kelepasan dan kelegaan dari Tuhan? Mungkin pekerjaan Anda telah menguras kesehatan fisik dan emosi Anda, sehingga Anda kewalahan dan meminta pertolongan Tuhan agar Ia memberi pekerjaan yang lebih cocok. Mungkin keluarga Anda menuntut perhatian lebih dari apa yang bisa Anda berikan. Di situasi pandemi ini, mungkin pendapatan Anda menurun drastis. Tetaplah nantikan pertolongan Tuhan! Cara kerja Tuhan tak selalu dapat diduga. Bila Tuhan telah mendatangkan kelepas-an dan kelegaan, jangan lupa untuk bersyukur dan memuji nama-Nya! [MN]

Suara TUHAN

Mazmur 29

Kata “TUHAN adalah kata paling dominan dalam Mazmur 29. Kata ini diulang delapan belas kali, seakan-akan Daud ingin memenuhi pikiran dan perasaan pembacanya dengan TUHAN. Jika kita meneliti beberapa nama tempat yang disebut oleh Daud, kita akan mendapati wilayah geografis yang mencakup seluruh wilayah Israel. Libanon (29:5) terletak di wilayah Utara Israel, sedangkan padang gurun Kadesh (29:8) terdapat di wilayah Selatan Israel. Daud ingin memastikan bahwa tidak ada ruang tersisa dalam hati seseorang yang diisi dengan hal lain selain TUHAN. Hanya TUHAN saja—dengan segala keagungan, kemuliaan dan kemegahan-Nya—yang sepatutnya memenuhi pikiran kita. Pikirkan-lah Dia! Daud melakukannya dan ia tidak tahan untuk tidak mengajak “para penghuni sorgawi”—29:1, perkataan ini berasal dari bahasa Ibrani yang arti harfiahnya adalah “anak-anak Allah”. Jadi, yang dimaksud bu-kan hanya para malaikat di surga, tetapi juga semua orang yang perca-ya kepada Allah—untuk menyembah dan memuliakan TUHAN bersama dengan dirinya. Seandainya kita mengarahkan hati dan pikiran kita ha-nya kepada TUHAN, orang-orang akan terbawa untuk sujud menyem-bah dan memuliakan TUHAN. Sebelum kita mengajak orang lain untuk menyembah dan memuliakan Tuhan pun, kehadiran kita yang terfokus penuh pada Tuhan pun sudah akan membuat suasana terasa berbeda, sehingga orang lain bisa “merasakan” kehadiran TUHAN. Begitu besar kuasa TUHAN jika Tuhan hadir dalam hidup kita
Kemudian, ada frase “Suara TUHAN” yang diulang tujuh kali. Angka tujuh adalah angka sempurna bagi orang Yahudi. Perhatikan bagaimana Daud menggunakan frase “Suara TUHAN” yang mengatur alam (29:3-9). TUHAN berkuasa penuh atas alam. Gambaran tentang suara TUHAN dalam Mazmur 29 mengingatkan kita pada peristiwa penciptaan dalam Kejadian 1 yang mencatat bagaimana TUHAN menciptakan dunia beserta segala isinya. “Berfirmanlah Allah (Kejadian 1:3,6,9,11,14, 20,24,26,29) ... Dan jadilah demikian (1:7,11,15,24, 30).” Suara TUHAN tak boleh diabaikan karena pasti penting dan berkuasa. Suara TUHAN mencipta, memberi kehidupan, dan memelihara. Saat ini, suara apa yang lebih banyak kita dengarkan dan kita anggap penting? Sadarilah bahwa suara-suara lain itu membunuh dan menumpulkan kita. Dengarkanlah suara TUHAN dan taatilah! [MN]

Berjagalah terhadap Ketidaktulusan

Mazmur 28

Dengan nada sarkastis, saya berkata dengan setengah berteriak, “Jago banget acting-nya!” Saya sangat terpengaruh dan berempati saat mendengarkan curhat seorang rekan. Saya merasa menjadi korban seperti dirinya. Pasalnya, rekan saya merasa sangat kecewa karena orang yang selama ini dia anggap sebagai sahabat yang sangat ia percayai, bahkan seorang mentor yang ia kagumi, ternyata tega menikamnya dari belakang. Ia merasa dimanfaatkan, dimanipulasi, dan ditelanjangi. Pernahkah Anda merasa seperti rekan saya itu?
Daud memahami bahwa ada orang-orang yang ramah atau kelihatan baik, tetapi sebenarnya hatinya jahat. Kebaikannya hanya merupakan sandiwara yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Kebaikan yang dilakukan untuk menutupi niat jahat itu merupakan lawan dari ketulusan. Yang menjadi masalah, niat jahat yang tersembunyi atau ketidaktulusan itu tidak mudah dikenali sebelum muncul bukti yang terlihat jelas. Tidaklah mengherankan bila Daud berseru kepada Tuhan, “Janganlah menyeret aku bersama-sama dengan orang fasik ataupun dengan orang yang melakukan kejahatan, yang ramah dengan teman-temannya, tetapi yang hatinya penuh kejahatan.” (28:3). Berhati-hatilah!
Kembali kepada kisah rekan saya di atas, saya kira sangat manusiawi jika ia menjadi marah, sedih, kecewa, dan berharap agar keadilan dan kebenaran terungkap. Daud juga seperti itu. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa dalam kondisi kecewa itu, Daud datang kepada Tuhan (28:1-2), tempat yang paling tepat dan aman untuk mengekspresikan luka hatinya. Perhatikanlah permohonan Daud kepada Tuhan mengenai orang-orang yang tidak tulus itu, “Ganjarilah mereka ...; ganjarilah mereka ... balaslah kepada mereka... Ia akan menjatuhkan mereka dan tidak membangunkan mereka lagi.” (28:4-5). Apakah Daud sadis? Entahlah! Daud sekadar mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya! Seandainya Tuhan meminta Daud untuk mengampuni karena orang itu telah berubah, sangat mungkin bahwa Daud akan taat. Di Mazmur 28—seperti di Mazmur lainnya—Daud sedang bermazmur, bukan merencanakan pembalasan. Anda boleh membaca mazmur ini sebagai permohonan saat Anda merasa dikhianati, tetapi jangan membuat rencana untuk melakukan pembalasan! [MN]

Rahasianya: Berada di Hadirat Tuhan

Mazmur 27

Setiap orang pasti pernah merasa takut. Rasa takut—beserta rasa ce-mas, khawatir, gelisah—ketika menghadapi situasi yang sulit adalah bagian dari sistem kejiwaan yang dirancang Tuhan sejak semula. Akan tetapi, perasaan takut yang berlebihan bisa membuat kita menjadi sulit tidur, sukar konsentrasi, dan—yang paling parah—membuat kita meng-alami depresi. Oleh karena itu, perasaan takut harus dikelola.
Daud sudah terbiasa menghadapi situasi sulit dan tekanan besar. Sebagai panglima perang, ia biasa menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih kuat daripada pasukannya. Ia pernah hidup dikejar-kejar oleh Saul dan tentaranya untuk kejahatan yang tidak pernah ia lakukan. Sebagai seorang raja, ia punya banyak kawan, tetapi ia juga memiliki lawan-lawan yang ganas (27:2). Jika kita membayangkan Daud sebagai seorang yang tidak punya rasa takut, kita keliru. Seperti orang lain, Daud juga pernah merasa takut (1 Samuel 23:15), bahkan ia pernah merasa sangat takut (1 Samuel 21:12). Akan tetapi, inilah yang dilakukan Daud saat merasa takut: ia menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN, Allahnya (1 Samuel 30:6). Terlalu banyak alasan bagi Daud untuk menaruh rasa percaya yang penuh kepada TUHAN. Perhatikan bahwa saat kegelapan meliputi Daud, TUHAN adalah terang baginya. Saat Daud terjepit, TUHAN menjadi keselamatannya. Saat serangan bertubi-tubi tertuju padanya, TUHAN menjadi benteng hidupnya, sehingga ia terlindung dari bahaya (Mazmur 27:1-5). Daud tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa takut karena ia memercayai TUHAN (27:13-14). Yakinilah bahwa sampai saat ini, Tuhan tetap ‘memainkan’ peran yang sama dalam kehidupan anak-anak-Nya. Yang menjadi tanggung jawab kita adalah menaruh rasa percaya penuh kepada Tuhan.
Daud tidak mau membiarkan situasi yang terus berubah meng-guncang kepercayaannya kepada TUHAN. Situasi bisa dan pasti berubah, dan hidup kelihatannya tidak akan menjadi lebih mudah. Seperti Daud yang meyakini bahwa jika ia berada di hadirat TUHAN, ia akan menyaksikan kemurahan TUHAN (27:4); maka ketika kita menya-dari kehadiran Allah dalam segala situasi, kita dapat meyakini bahwa kita akan melihat kemurahan Tuhan, bahkan dapat menikmatinya sekali-pun di tengah situasi yang sulit. TUHAN tidak pernah meninggalkan kita. Dia adalah Imanuel. [MN]

Otentisitas dan Keberanian Diuji

Mazmur 26

Kesan apa yang Anda dapatkan saat membaca sekilas Mazmur 26 ini? Bila Anda bingung, Anda tidak sendiri. Apa lagi, jika Anda adalah orang yang bertipe judgmental atau suka menghakimi, Anda dengan mudah dapat mengemukakan dua alasan: Pertama, Daud seperti seo-rang yang narsisistik—yaitu memiliki keinginan berlebihan untuk diperha-tikan dan disukai—karena dia seperti membanggakan kualitas-kualitas unggul dalam dirinya. Ia mengaku telah hidup dalam ketulusan (26:1, 11), memiliki iman yang kokoh (26:1), hidup dalam kebenaran Tuhan (26:3), menjaga pergaulan (26:4-5), beribadah kepada Tuhan (26:6-7), dan mencintai rumah Tuhan (26:8). Orang yang judgmental lebih mudah mencurigai jenis orang seperti Daud yang terlalu berani mengakui kesalehan hidup yang telah ia jalani. Kedua, jika bercermin pada prinsip anugerah, siapa yang berani bersikap seperti Daud yang memandang betapa saleh dirinya, sehingga ia beranggapan bahwa sudah sepantas-nya Tuhan memberinya keadilan (26:1), izin hidup (26:9), serta kebebasan dan belas kasihan (26:11), seolah-olah anugerah dapat dibeli dengan kesalehan? Daud bukan narsistik, tetapi dia otentik atau apa adanya. Kita memang harus waspada karena banyak orang menganggap anugerah Allah sebagai penghargaan atas jasa seseorang.
Mazmur ini kemungkinan besar ditulis oleh Daud pada saat Absalom—anak kandungnya sendiri—mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Daud yang sah. Namun, daripada melakukan perlawanan yang dapat mengakibatkan perang saudara dan mengaki-batkan banyak jatuh korban jiwa, Daud memilih datang dan meminta pembelaan Tuhan. Secara terang-terangan, Daud memohon kepada Tuhan untuk memberi keadilan, bukan main hakim sendiri. Daud mem-persilakan Tuhan untuk menguji dan mencoba dirinya, menyelidiki batin dan hatinya. Tidak ada niat jahat untuk mempertahankan posisinya sebagai raja, tidak ada motivasi jahat yang tersembunyi dalam hatinya sebagai seorang manusia. Tidak ada kebencian yang membakar hasrat yang dibungkus dengan alasan untuk mendidik putranya. Daud yakin bahwa pada akhirnya, kebenaran akan Tuhan nyatakan, dan dari mulutnya sendiri—di hari itu—ia akan memuji Tuhan. Daud datang ke hadapan Tuhan secara otentik—bukan narsistik—dan membiarkan Tuhan terus memurnikan hatinya. [MN]