Jangan Mau Disesatkan!

Filipi 3:1-16

Banyak faktor yang bisa membuat kita tersesat. Salah satunya adalah kehadiran orang-orang di sekitar kita yang bertindak sebagai penyesat. Merupakan suatu hal yang serius bila Rasul Paulus menyebut para penyesat jemaat Filipi itu sebagai ‚anjing-anjng, pekerja jahat, penyunat palsu‛. Pengaruh mereka jelas berbahaya, baik bagi jemaat Filipi maupun bagi kita yang hidup pada masa kini.
Cara Rasul Paulus menghadapi para penyesat merupakan contoh bagi kita saat kita berhadapan dengan penyesat. Keyakinan Rasul Paulus tidak bisa digoyahkan. Ia selalu berhati-hati. Ia tidak mau dibawa kembali kepada keyakinan masa lalu yang salah. Dengan tegas, Rasul Paulus berkata, ‚aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarah-kan diri kepada apa yang di hadapanku‛ (3:13b). Ketegasan sikap Rasul Paulus ini dilandasi keyakinan bahwa keuntungan atau kebanggaan yang ditawarkan si penyesat—dan yang pernah dia nikmati—hanyalah sam-pah. Bagi Rasul Paulus, pengenalan akan Kristus lebih berharga dari kemuliaan duniawi yang didasarkan pada ketaatan terhadap hukum Taurat (3:8). Bagi Rasul Paulus, yang paling penting bukan kebanggaan karena keberhasilan memenuhi tuntutan hukum Taurat, tetapi pengenal-an terhadap Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya, serta persekutuan dalam penderitaan-Nya (3:10).
Kita harus bersikap kritis dalam menilai setiap pengajaran yang kita terima. Walaupun pengajaran itu menawarkan kemuliaan yang menggiurkan, jika pengajaran itu menjauhkan kita dari anugerah keselamatan di dalam Kristus, pengajaran itu harus kita tolak dengan tegas. Di setiap masa, selalu muncul pengajaran sesat yang berusaha menjauhkan kita dari pengajaran yang berdasarkan ajaran Alkitab. Misalnya, pada masa kini, ada ajaran yang melebih-lebihkan anugerah Allah, sehingga mengabaikan tanggung jawab manusia untuk bertobat dan hidup sesuai dengan kehendak Allah. Adalah benar bahwa Allah menerima orang berdosa. Akan tetapi, dari pihak si pendosa harus ada kesediaan untuk mengaku dan meninggalkan dosa serta kesediaan untuk menerima Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juru Selamat. Ajaran sesat—seperti ajaran yang mengatakan bahwa anugerah Allah sedemikian besar sehingga orang berdosa boleh tetap tinggal dalam dosanya—harus ditentang! [YZ/P]

Mandiri Secara Rohani

Filipi 2:12-18

Seorang yang mandiri adalah seorang yang mampu bertanggung jawab untuk mengatur kehidupannya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain dan juga tanpa perlu diawasi. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus menasihati jemaat Filipi agar bersikap mandiri secara rohani. Mereka diharapkan mampu mengerjakan keselamatan yang telah Tuhan anugerahkan. Artinya, mereka diharapkan agar tetap mampu melaksanakan tanggung jawab sebagai orang-orang yang telah diselamatkan, walaupun Rasul Paulus tidak terus-menerus mengawasi, bahkan tidak hadir bersama dengan mereka (2:12).
Perintah ‚mengerjakan keselamatan‛ bukanlah berarti bahwa kita harus berpartisipasi agar bisa memperoleh keselamatan, karena keselamatan murni merupakan pekerjaan Allah di dalam kehidupan orang-orang pilihan-Nya (Efesus 2:8-9). Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‚mengerjakan keselamatan‛ adalah menunjukkan pola hidup yang sesuai dengan status kita sebagai orang yang telah diselamatkan, yaitu pola hidup yang dilandasi oleh ketaatan terhadap firman Tuhan (Filipi 2:12, 16). Kehidupan yang disesuaikan dengan firman Tuhan akan membentuk kita menjadi anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah masyarakat yang bengkok hatinya, sehingga kita bisa menjadi teladan bagi dunia ini (2:15). ‚Mengerjakan keselamatan‛ itu tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tetapi harus dilakukan ‚dengan takut dan gentar‛ (2:12), artinya dilakukan dengan sangat hati-hati. Oleh karena itu, orang yang masih sering jatuh dalam dosa adalah orang yang belum mengerjakan keselamatan dengan semestinya. Perlu diingat bahwa kemampuan mengerjakan keselamatan itu bukanlah berasal dari kemampuan diri kita sendiri, tetapi berasal dari pertolongan Allah (2:13). Untuk bisa mengerjakan keselamatan yang telah kita terima, kita harus senantiasa bergantung kepada Allah. Jadi, kemandirian secara rohani itu juga berarti kebergantungan sepenuhnya kepada Allah.
Renungkanlah apakah sebagai seorang yang telah diselamatkan, Anda telah bersikap mandiri secara rohani: Apakah Anda telah mengerjakan keselamatan melalui pola hidup yang sesuai dengan firman Tuhan? Apakah kesalehan Anda telah tertampil dalam segala situasi, bukan hanya saat berada di lingkungan gereja atau lingkungan Kristen saja? Apakah Anda telah hidup bergantung penuh kepada Allah? [YZ]

Jangan Egois!

Filipi 2:1-11

Sifat egois adalah karakter yang sangat dibenci Tuhan. Sifat egois membuat seseorang tidak memedulikan Tuhan maupun sesama. Melalui kehidupannya, Rasul Paulus memberikan teladan yang hebat. Dia tidak mementingkan dirinya sendiri. Ia selalu mengutamakan orang lain, termasuk saat ia sendiri berada dalam penjara. Salah satu wujud kepedu-liannya terhadap orang lain adalah bahwa ia selalu memikirkan dan mengusahakan pertumbuhan kerohanian orang-orang yang pernah ia layani. Karena ia sendiri telah mempraktikkan sikap kepedulian terhadap orang lain, Rasul Paulus berani menasihati agar tiap-tiap orang jangan hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, tetapi memperhatikan kepentingan orang lain juga (2:4).
Rasul Paulus mengutamakan kepentingan orang lain karena ia meneladani Yesus Kristus yang tidak mementingkan diri-Nya sendiri. Walaupun disakiti oleh kesombongan dan ketidaktaatan manusia, Kristus tetap memikirkan dan mengutamakan kepentingan manusia berdosa. Ia rela mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai ma-nusia, Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di atas kayu salib untuk mengupayakan keselamatan manusia berdosa (2:6-8). Perbuatan mulia Yesus Kristus inilah yang membuat Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, sehingga seluruh penghuni alam semesta ini bertekuk lutut dan semua orang mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. (2:9-11)
Bagaimana dengan diri Anda? Apakah Anda sudah mempraktik-kan kehidupan yang mementingkan kepentingan orang lain? Jika belum, ikutikah teladan Rasul Paulus yang telah lebih dahulu meneladani kehi-dupan Yesus Kristus (bandingkan dengan 1 Korintus 11:1). Sebagaimana Kristus mengasihi dan memikirkan kepentingan orang berdosa, kita pun harus mengasihi dan memikirkan kepentingan sesama. Bila setiap orang percaya dipenuhi oleh kasih Kristus dan oleh rasa belas kasihan kepada orang lain, khususnya mereka yang sedang bergumul menghadapi berbagai macam penderitaan, pasti akan ada kesatuan di antara orang-orang percaya. Walaupun adanya perbedaan tak mungkin dihindarkan, Roh Kudus akan mempersatukan orang percaya, sehingga kita bisa menjadi sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, dan satu tujuan (2:1-2). [YZ]

Nikmatilah Ketakjuban Injil!

Filipi 1:12-30

Rasul Paulus rela mengalami penderitaan. Ia rela digiring ke penjara oleh orang-orang yang menentang pemberitaan Injil. Akan tetapi, penderitaan yang dia alami justru telah menyebabkan kemajuan Injil (1:12). Para penentang Rasul Paulus sengaja memberitakan Injil dengan cara, isi, maksud, dan motivasi yang negatif, dengan tujuan supaya orang menjadi tidak tertarik kepada berita Injil (1:15-18). Akan tetapi, ternyata bahwa justru melalui pemberitaan Injil dengan niat yang buruk itu, nama Yesus Kristus diberitakan dan banyak orang menjadi percaya kepada-Nya. Bagi Rasul Paulus, kenyataan itu menakjubkan! Ketakjubannya ia ungkapkan melalui sebuah pengakuan, ‚Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.‛ (1:18).
Setiap orang yang berusaha memakai setiap kesempatan untuk memberitakan Injil perlu membuka mata untuk memperhatikan berbagai hal menakjubkan yang umumnya terjadi saat Injil diberitakan. Akan tetapi, sadari pula bahwa hal-hal menakjubkan itu tidak akan bisa kita alami bila kita malas memberitakan Injil. Ketakjuban itu tidak akan muncul bila kita tidak melangkah maju, bergerak, bersuara, dan bekerja memberitakan Injil. Tindakan memberitakan Injil ini sekaligus merupakan wujud ketaatan terhadap tujuan yang telah Tuhan tetapkan bagi kita saat ini, yaitu agar kita bekerja memberi buah (1:22). Ketaatan kita akan membuat kita semakin merasakan kehebatan berita Injil yang melampaui akal pikiran manusia.
Pada umumnya, kita berpikir bahwa penderitaan yang datang se-cara bertubi-tubi—termasuk munculnya berbagai penganiayaan—akan mengurangi daya tarik berita Injil. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sering kali di luar dugaan karena apa yang tidak mungkin bagi manusia adalah mungkin bagi Allah. Sampai saat ini, pemberitaan Injil masih mengalami berbagai hambatan, baik hambatan berupa serangan dari kelompok radikal yang berusaha menghancurkan gereja serta meng-halangi umat Kristen beribadah maupun ‚serangan‛ kelompok toleran terhadap pemberitaan Injil demi menghindari konflik. Sekalipun demikian, tidak ada satu pun kuasa yang mampu menghadang pemberitaan Injil. Apakah Anda telah bertekad untuk tetap setia memberitakan InjilI walaupun harus menghadapi penderitaan? Bila Anda setia, Anda akan menemui hal-hal menakjubkan saat memberitakan Injil! [YZ]

Kamu Ada di dalam Hatiku

Filipi 1:1-11

Pada masa kini, hubungan yang dilandasi oleh ketulusan merupakan sesuatu yang langka. Dengan mudah, kita dapat menjumpai orang yang mudah mengucapkan, ‚kamu ada di dalam hatiku‛, tetapi kenyataannya tidak demikian. Ada orang-orang yang dengan mulutnya mengatakan bahwa mereka mengasihi, tetapi ternyata—secara diam-diam—mereka menusuk dari belakang. Bahkan, kepentingan diri sendiri yang diutamakan dalam sebuah relasi.
Rasul Paulus mengungkapkan kedekatannya dengan jemaat Filipi dengan sebuah kalimat yang indah dan puitis ‚kamu ada dalam hatiku‛ (1;7). Ungkapan ini adalah ungkapan yang tulus tentang betapa berharganya jemaat Filipi bagi Rasul Paulus. Kesungguhan kasih Rasul Paulus terhadap jemaat Filipi ini diungkapkan dengan berbagai cara. Setiap kali mengingat jemaat Filipi, Rasul Paulus selalu mengucap syukur karena ia teringat kepada persekutuan—atau ‘keikutsertaan’—jemaat Filipi dalam pemberitaan Injil (1:3,5). Tampaknya, Rasul Paulus memiliki jadwal rutin untuk mendoakan jemaat Filipi. Setiap kali mendoakan mereka, Rasul Paulus selalu berdoa dengan sukacita (1:4). Rasul Paulus juga mengungkapkan bahwa ia sangat merindukan jemaat Filipi (1:8). Hal paling menakjubkan yang membuktikan ketulusan hati Rasul Paulus adalah bahwa saat menulis surat Filipi, ia sedang berada di penjara (1:7,13,14). Walaupun sedang menderita di dalam penjara, Rasul Paulus tetap mengingat jemaat Filipi. Tanpa ketulusan, Rasul Paulus tidak mungkin bisa ‚selalu‛ memikirkan dan merasa rindu agar jemaat Filipi semakin bertumbuh ke arah pengenalan akan Kristus, mengingat bahwa kondisi Rasul Paulus sendiri sangat memprihatinkan.
Apa yang menjadi rahasia Rasul Paulus dalam membangun sebuah relasi yang tulus? Rahasianya adalah bahwa relasi itu dilandasi oleh keindahan relasi yang terjalin antara Rasul Paulus dengan Kristus. Dia adalah hamba Kristus (1:1). Ketulusan Kristus yang telah memilih dia menjadi hamba-Nya mempengaruhi relasinya dengan jemaat Filipi, sehingga ia selalu melibatkan Allah dalam relasi yang tercipta antara dia dengan jemaat di Filipi. Dalam relasi dengan sesama, marilah kita mewujudkan ungkapan ‚kamu ada dalam hatiku‛ yang dilandasi oleh relasi kita dengan Tuhan, sehingga kita dapat menjalani relasi yang tulus dengan sesama. [YZ]

Peperangan Rohani

Efesus 6:10-24

Bagian akhir surat Efesus mencakup perikop tentang peperangan rohani yang harus dihadapi para pengikut Kristus (6:10-20). Perikop ini terdiri dari tiga bagian, yang ditandai dengan adanya tiga buah imperatif (kalimat perintah). Bagian pertama diawali dengan perintah untuk kuat di dalam Tuhan (6:10-13). Sumber kekuatan orang percaya tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi berasal dari kuasa Tuhan Yesus. Agar ‚kuat di dalam Tuhan‛ (6:10), ‚kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah‛ (6:11). Hanya dengan memakai seluruh—tanpa kecuali—perlengkapan senjata Allah, barulah orang percaya diperlengkapi secara memadai untuk ‚dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis‛ (6:11), sehingga orang percaya tidak perlu menyerah kalah terhadap si jahat, tetapi bisa menang melawan tipu muslihat dan taktik jahat Iblis dan antek-anteknya (6:12). Menurut 4:27, Iblis mencari kesempatan untuk mempengaruhi orang percaya agar hidup dalam dusta (4:25), kemarah-an yang tak terkontrol (4:26), keinginan mencuri (4:28), perkataan yang tidak membangun (4:29), dan semua kebiasaan hidup manusia lama lainnya (4:22) yang tidak benar dan tidak kudus (4:24). Namun, strategi utama Iblis adalah menggagalkan rencana Allah untuk mempersatukan segala sesuatu di dalam Kristus dan menjadikan Kristus sebagai Kepala atas segala yang di bumi dan di sorga (1:10; 2:11-22). Perpecahan dan perselisihan gereja adalah tujuan utama Iblis.
Bagian kedua (6:14-17) dimulai dengan perintah ‚berdirilah te-gap‛ (6:14). Orang Kristen yang tidak berdiri tegap dalam Kristus akan menjadi mangsa Iblis. Oleh karena itu, orang percaya harus mengenakan seluruh perlengkapan senjata perang yang merupakan milik Allah dan yang dipakai Allah untuk menyelamatkan umat-Nya (misal Yesaya 59:17). Keenam senjata Allah tersebut adalah (perbuatan) kebenaran, keadilan, berita Injil damai sejahtera, iman, keselamatan, dan firman Allah (6:14-17).
Bagian ketiga (6:18-20) berfokus pada kebutuhan untuk berdoa setiap waktu dan berjaga-jaga dalam doa syafaat bagi orang percaya, termasuk bagi Rasul Paulus—yang sedang berada dalam penjara—agar ia dapat memberitakan rahasia Injil dengan berani. Dalam konteks pepe-rangan rohani, doa lebih diutamakan dibandingkan senjata apa pun yang didaftarkan di ayat 14-17. Doa sangat menentukan dalam upaya menga-lahkan tipu muslihat Iblis. [EG]

Relasi Hamba dan Tuan Kristen

Efesus 6:5-9

Relasi ketiga dalam aturan rumah tangga ialah relasi para hamba dan tuan mereka (6:5-9). Tugas seorang hamba adalah menaati tuannya di dunia (6:5). Rasul Paulus berbicara tentang hamba dan tugas-tugasnya dalam 4 ayat, dan di tiap ayat disinggung nama Tuhan Yesus Kristus. Para hamba harus menaati tuan mereka ‚seperti kamu taat kepada Kristus‛ dan bersikap ‚sebagai hamba-hamba Kristus‛ yang melayani tuannya seperti ‚melayani Tuhan‛ karena tahu bahwa ‚ia akan menerima balasannya dari Tuhan‛ (6:5-8). Perhatikan pula ungkapan ‚dengan takut dan gentar‛ kepada Tuhan (6:5, bandingkan dengan Kolose 3:22), bukan kepada tuan di bumi. Nasihat kepada para hamba untuk menaati tuannya itu jelas sekali berpusat pada Kristus. Bila para hamba Kristen menyadari bahwa ketaatannya berpusat pada Kristus, maka pelayanan mereka terhadap tuan manusia di dunia tentu akan baik. Seorang hamba Kristen akan senantiasa menaati tuannya dengan tulus, tanpa niat menipu, dan bukan hanya bila sang tuan hadir mengawasinya. Mereka akan rela dan dengan segenap hati melayani tuannya seperti melayani Kristus, karena hal itu merupakan ‚kehendak Allah‛ (6:6) dan akan mendapatkan balasan dari Kristus.
Jika tugas para hamba dijabarkan secara rinci, tanggung jawab seorang tuan hanya disebut dalam satu ayat. Tugas itu terlihat dari dua buah perintah: Pertama, ‚perbuatlah demikian juga terhadap mere-ka‛ (6:9a). Perintah ini bukan berarti bahwa para tuan harus melayani hamba mereka jika ingin dilayani, namun perintah tersebut merujuk kepada sikap dan tindakan para tuan, yang—seperti para hamba di ayat sebelumnya—dipengaruhi oleh relasi mereka dengan Tuhan yang berada di sorga (6:9b). Kedua, ‚jauhkanlah ancaman‛ (6:9a). Tugas kedua ini tidak mengatakan bahwa para hamba tidak boleh diancam dengan hukuman jika mereka salah, tetapi larangan ini menolak semua bentuk manipulasi, sikap merendahkan, dan menakut-nakuti para hamba dengan ancaman. Hubungan yang didasarkan pada ancaman bukanlah hubungan yang manusiawi. Alasan bagi kedua tugas para tuan tersebut adalah karena para hamba dan para tuan bertanggung jawab kepada Tuhan yang sama, yang ada di sorga dan yang akan menghakimi baik tuan maupun hamba tanpa memandang muka (6:9b). Status sosial yang lebih tinggi dari para tuan sama sekali tidak memberi keuntungan apa pun di hadapan takhta pengadilan Kristus. [EG]

Relasi Anak dan Orang Tua Kristen

Efesus 6:1-4

Relasi anak-orang tua dibahas oleh Rasul Paulus secara ringkas, hanya dalam 4 ayat saja. Kewajiban anak terhadap orang tuanya adalah ‚taat‛ (6:1). Ketaatan seorang anak terhadap orang tuanya merupakan bagian dari komitmen seorang Kristen (Perhatikan perkataan ‚dalam Tuhan‛ di 6:1). Ada tiga alasan mengapa seorang anak Kristen harus menaati orang tuanya: Pertama, karena merupakan suatu kewajaran alamiah (‚karena haruslah demikian‛, 6:1). Perintah menaati orang tua adalah wahyu umum dan hukum kewajaran yang ditulis Allah di hati nurani semua manusia, apa pun agamanya. Kedua, karena merupakan perintah Tuhan (6:2). Perintah ‚Hormatilah ayahmu dan ibumu‛ adalah perintah pertama di bagian kedua 10 Perintah Allah, yang membicarakan kewajiban seseorang terhadap sesamanya manusia (Keluaran 20:12). Ketiga, karena berisi janji, yaitu janji bahagia dan panjang umur di bumi (6:3). Berkat Tuhan bukan hanya berkat rohani di sorga (1:3-14), tetapi juga berkat jasmani di bumi. Janji berkat bahagia dan panjang umur ini bisa dipahami dalam pengertian komunal, yaitu menunjuk pada masyarakat tempat para orang tua diperhatikan dan dihormati oleh anak-anak mereka. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang sehat, stabil, dan mantap secara sosial.
Setiap ayah diperingatkan, ‚Janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu‛ (6:4a). Otoritas seorang ayah bukanlah otoritas tanpa batas. Dalam diri setiap anak ada kepribadian yang harus dihormati. Sikap merendahkan, sindiran, dan ejekan akan membangkitkan amarah dalam hati anak-anak. Demikian juga disiplin keras yang berlebihan, tuntutan yang tidak masuk akal, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, sikap suka membanding-bandingkan dengan anak lain, dan semua bentuk ketidakpekaan akan kebutuhan dan perasaan anak akan membangkitkan amarah dalam hati anak. Larangan atau nasihat yang bersifat negatif itu dilengkapi dengan nasihat yang bersifat positif, yaitu bahwa para ayah Kristen diperintahkan untuk mendidik anak mereka ‚dalam ajaran dan nasihat Tuhan‛ (6:4b). Rasul Paulus menginginkan agar para ayah Kristen menjadi pribadi yang lembut, pendidik yang sabar, dan senjata utamanya adalah ajaran dan nasihat yang menolong anak mengenal Tuhan Yesus dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Tuhan Yesus Kristus (bandingkan dengan 4:20-21). [EG]

Relasi Suami-Istri Kristen

Efesus 5:22-33

Dalam Efesus 5:22-6:9, Paulus menjabarkan aturan rumah tangga Kristen yang disebut secara berurutan kepada istri dan suami (5:22-33), anak dan ayah (6:1-4), serta hamba dan tuan (6:5-9). Aturan-aturan rumah tangga ini bersifat patriarki (mengutamakan pria) dan hierarkis (berurutan). Anggota yang harus tunduk disebut lebih dulu dan dinasihati untuk ‚tunduk‛ atau ‚taat‛. Istri harus tunduk kepada suami ‚seperti kepada Tuhan‛ (5:22). Anak harus taat kepada orang tua ‚di dalam Tuhan‛ (6:1). Hamba harus tunduk kepada tuannya ‚sama seperti kamu taat kepada Kristus‛ (6:5). Ketaatan istri, anak, dan hamba merupakan wujud ketaatan kepada Kristus. Istri, anak, dan hamba wajib tunduk kepada otoritas duniawi—yaitu suami, orang tua, dan majikan—selama pemegang otoritas tunduk kepada Allah, atau sepanjang pemegang otoritas tidak menyuruh kita melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan juga tidak melarang bila kita melakukan hal yang Tuhan perintahkan (bandingkan dengan Kisah Para Rasul 5:29). Di antara ketiga relasi di atas, relasi suami-istri Kristen dibahas secara panjang lebar dalam perikop ini (5:22-33).
Dalam terang maksud Allah untuk mempersatukan segala sesuatu dalam Kristus (1:9-10), harmoni relasi suami-istri Kristen adalah salah satu unsur terpenting dari kesatuan ini. Para istri dan suami—juga anak dan orang tua, hamba dan tuan—memiliki peran dan tugas yang berbeda, tetapi semuanya memiliki martabat yang sama di hadapan Allah. Istri wajib tunduk kepada suaminya karena suami adalah kepala istri (5:22-23a). Kewajiban suami terangkum dalam kata ‚mengasihi.‛ Dalam perikop yang kita baca, sampai tiga kali Rasul Paulus mengulangi tuntutan yang sama kepada para suami: ‚Hai suami, kasihilah istrimu‛ (5:25), ‚suami harus mengasihi istrinya‛ (5:28), dan ‚bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu‛ (5:33). Paulus menggunakan dua analogi untuk menjelaskan kasih suami terhadap istri. Pertama, suami wajib mengasihi istri sebagaimana Kristus mengasihi jemaat (5:25). Jika tuntutan ‚tunduk‛ bagi istri dianggap berat, jauh lebih berat tuntutan bagi suami. Suami wajib mengasihi istri dengan kasih Kristus, yaitu kasih yang rela berkorban secara total dan tulus demi istrinya. Kedua, suami harus mengasihi istrinya sama seperti mengasihi tubuhnya sendiri (5:28), karena ‚tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya‛ (5:29). [EG]

Hidup dalam Kasih, Terang, dan Hikmat

Efesus 5:1-21

Perikop ini terdiri dari tiga bagian yang ditandai dengan adanya tiga perintah utama dan hadirnya tiga kali kata ‚hidup‛, yaitu ‚hiduplah di dalam kasih‛ (5:1-7), ‚hiduplah sebagai anak-anak terang‛ (5:8-14), dan ‚perhatikanlah . . . bagaimana kamu hidup‛ (5:15-21).
Perintah pertama adalah ‚hiduplah di dalam kasih‛ (5:2). Rasul Paulus menjadikan kasih Kristus sebagai model kasih yang harus diikuti, yaitu kasih yang mau berkorban dan bersedia membayar harga untuk orang lain (5:3). Melayani sesama dengan cara ini bukan hanya menyenangkan Allah (‚kor-ban yang harum bagi Allah‛), tetapi juga berarti menuruti Allah dan Kristus. Kemudian, Rasul Paulus mendaftarkan segala kejahatan yang bertentangan dengan kehidupan di dalam kasih yang harus disingkirkan dari kehidupan orang percaya, baik kejahatan dalam perbuatan seperti percabulan, kece-maran, keserakahan (5:3), maupun kejahatan dalam perkataan seperti perkataan kotor, perkataan kosong, dan perkataan sembrono (5:4). Berbagai kejahatan di atas harus disingkirkan karena para pembuat kejahatan tidak mendapat bagian di dalam Kerajaan Allah (5:5), dan bahwa kejahatan mendatangkan murka Allah (5:6). Agar orang percaya tidak terpengaruh untuk melakukan kejahatan yang sama, ia menasihati agar orang percaya tidak ‚berkawan dengan mereka‛ (5:7).
Perintah kedua adalah perintah untuk hidup sebagai anak-anak terang (5:8b) yang ditandai dengan skema dahulu-sekarang (5:8a; bandingkan de-ngan 2:1,4 dan 2:11,13). Perintah ini menunjukkan fakta bahwa orang percaya, karena kasih karunia Allah, sudah beralih dari sebagai warga kerajaan kege-lapan menjadi warga kerajaan terang, yaitu kerajaan Kristus dan Allah (5:5). Kehidupan anak-anak terang ditandai dengan kehidupan yang berbuahkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran (5:9), dan ketiga buah terang inilah yang menjadi dasar orang percaya untuk menguji dan mengevaluasi berbagai isu untuk membedakan mana perbuatan gelap—yang tidak berbuahkan apa-apa (5:11)—dan mana perbuatan terang yang berkenan kepada Allah (5:10).
Perintah ketiga adalah perintah untuk memperhatikan dengan saksa-ma cara hidup kita (5:15), yang ditandai oleh tiga antitesis (tiga pasang nasihat yang berlawanan), yaitu: 1) jangan seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif (5:15b); 2) jangan bodoh, tetapi berusahalah mengerti kehendak Tuhan (5:17); 3) jangan mabuk oleh anggur, tetapi penuhlah dengan Roh (5:18). Kehidupan dalam Roh tampak dalam perkataan (5:19-20) dan dalam perbuatan merendahkan diri (5:21). [EG]