Menghormati Pemimpin dari Allah

2 Samuel 1

Beberapa waktu yang lalu, sempat tersiar desas-desus kematian Kim Jong Un, pemimpin tertinggi Korea Utara. Meskipun tidak terbukti kebenarannya, kabar ini direspons dengan cara beragam. Walaupun ada yang tidak peduli, tetapi sebagian besar orang tampak menanti-nantikan kebenaran berita kematian tersebut, mengingat sang pemimpin dikenal sebagai seorang diktator yang kejam. Kitab 2 Samuel diawali dengan berita kematian Raja Saul. Seorang tentara keturunan Amalek mengira bahwa berita itu adalah “kabar baik” bagi Daud yang sering diincar untuk dibunuh oleh Raja Saul. Alih-alih memberi hadiah atau jabatan atas jasa menginfokan “kabar baik” itu, Daud malah menghukum mati orang Amalek itu saat itu juga. Bagi Daud, tidak patut bertindak sewenang-wenang kepada orang yang diurapi Tuhan, apalagi berita yang disampaikan orang Amalek itu (1:6-10) adalah cerita dusta yang berbeda dengan catatan kematian Saul yang dicatat di 1 Samuel 31:3-5. Jelas bahwa tentara itu hanyalah seorang oportunis—yaitu orang yang selalu mengejar keuntungan. Daud bisa saja bersyukur dan merayakan kematian Raja Saul, dan pendukungnya akan maklum jika hal itu dilakukan. Namun, Daud justru mengekspresikan kesedihan yang mendalam dengan meratapi kematian Yonatan dan Raja Saul (2 Samuel 1:17-27). Catatan kepedihan yang mendalam ini bisa saja dicurigai sebagai suatu sandiwara. Namun, keseluruhan sikap Daud terhadap Raja Saul sejak ia dikejar-kejar hingga cara Daud memperlakukan jenazah Raja Saul merupakan bukti yang seharusnya membungkam kecurigaan yang tidak beralasan itu. Daud menghormati Raja Saul dan keluarganya secara konsisten. Respons Daud yang sangat menghormati Allah lewat menghor-mati orang yang diurapi Allah mengingatkan kita untuk bersikap rendah hati menghormati orang yang ditunjuk Tuhan menjadi pemimpin kita, termasuk orang tua, dosen, majikan, dan pemimpin rohani di Gereja. Kita mungkin sangat geram melihat kelemahan—bahkan cacat moral—yang membuat sang pemimpin akhirnya jatuh. Namun, adanya kelemahan itu tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk dengan sengaja merendahkan mereka. Saat mereka jatuh, kita patut berduka, bukan bersukacita. Oleh karena itu, doakanlah para pemimpin yang Tuhan tempatkan, agar mereka dipelihara Tuhan untuk menjadi berkat bagi hidup kita! [FI]

Gereja yang Memberitakan Injil

2 Tesalonika 3

Pasal terakhir Surat 2 Tesalonika merupakan dorongan Rasul Paulus kepada jemaat Tesalonika untuk meneladani dirinya (3:9). Pertama, Rasul Paulus meminta jemaat Tesalonika mendoakan pelayanannya agar pemberitaan firman Tuhan atau pemberitaan Injil terus berkembang, sama seperti pelayanan di Tesalonika (2 Tesalonika 3:1; 1 Tesalonika 5:25). Ingatlah bahwa Rasul Paulus bukan hanya meminta didoakan, tetapi ia sendiri telah lebih dulu mendoakan jemaat Tesalonika secara rutin (2 Tesalonika 1:11; 2:13; 1 Tesalonika 1:2; 2:13; 3:10). Permintaan kepada jemaat Tesalonika untuk mendoakan pelayanan Rasul Paulus itu bukanlah dimaksudkan untuk sekadar menambah kegiatan, melainkan merupakan usaha membina jemaat agar bergantung kepada Allah dan mengingat teladan Kristus (2 Tesalonika 3:5). Dengan mendoakan pelayanan Rasul Paulus, jemaat Tesalonika sekaligus belajar memahami bahwa pemberitaan Injil adalah pelayanan tim: Ada yang melayani dengan perkataan dan ada yang melayani melalui doa.
Kedua, Rasul Paulus mendorong jemaat Tesalonika untuk bekerja mencari nafkah agar tidak menjadi beban bagi orang lain. Mereka yang tidak mau bekerja harus dikucilkan. Perkataan Rasul Paulus sangat keras, “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” Rasul Paulus sendiri menjadi teladan dengan bekerja keras siang malam. Di tengah kesibukan memberitakan Injil, ia bekerja sebagai tukang kemah. Ingatlah bahwa Rasul Paulus bekerja bukan karena dia tidak berhak menerima upah dari pemberitaan Injil yang dia lakukan, tetapi karena ia hendak memberi teladan kepada jemaat bahwa melakukan pekerjaan (kasar) pun merupakan sesuatu yang terhormat. Selain itu, Rasul Paulus ingin meniadakan semua penghalang bagi pemberitaan Injil (2 Tesalonika 3:6-12; Kisah Para Rasul 18:3; Matius 10:10; 1 Timotius 5:18).
Bacaan Alkitab hari ini memperlihatkan bahwa gereja yang patut dianggap sebagai gereja teladan adalah gereja yang mengutamakan pemberitaan Injil. Semua penghalang bagi pemberitaan Injil harus disingkirkan. Bagaimana dengan diri Anda: Apakah Anda masih memiliki sifat atau kebiasaan yang menghalangi pemberitaan Injil? Apakah kehidupan Anda sudah merupakan “iklan” yang baik yang membuat orang yang belum mengenal Kristus menjadi tertarik untuk mendengar dan menerima berita Injil? [P]

Jangan Terpengaruh oleh Hoaks!

2 Tesalonika 2

Masalah yang dihadapi jemaat Tesalonika bukan hanya penganiaya-an, tetapi juga penyesatan. Salah satu penyesatan yang merong-rong jemaat Tesalonika adalah hoaks bahwa hari Tuhan telah tiba (2:2 )—Tuhan Yesus telah datang kembali. Rasul Paulus menegaskan bahwa sebelum hari Tuhan tiba, akan terjadi murtad dan akan muncul manusia durhaka (2:3) atau si pendurhaka (2:8). Dalam bahasa asli Alkitab, yaitu bahasa Yunani, yang dimaksud dengan si pendurhaka adalah orang yang tidak memedulikan hukum (dari kata Yunani ανομος). Si pendurha-ka akan meninggikan diri di atas segala yang disebut atau yang disem-bah sebagai Allah. Bahkan, ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah (2:4). Dalam sejarah, ada tokoh-tokoh yang mengang-gap dirinya seperti Allah, misalnya Agustus, Nero, dan Domitian—kaisar-kaisar Romawi. Dalam 1 Yohanes 2:18, Rasul Yohanes mengatakan, “... seorang antikristus akan datang, sekarang telah bangkit banyak antikris-tus....” Sebutan “antikristus” menurut Rasul Yohanes ini nampaknya menunjuk kepada pribadi yang sama dengan “si pendurhaka” menurut Rasul Paulus. Anehnya, selain ada sebutan “seorang antikristus”, ada pula sebutan “antikristus-antikristus. Oleh karena itu, ada kemungkinan bah-wa yang dimaksud dengan “si pendurhaka” atau “antikristus” ini menun-juk kepada banyak orang, tetapi ada pula kemungkinan munculnya seorang pemimpin besar “pendurhaka” atau “antikristus”.
Kesulitan untuk memahami secara pasti siapa “si pendurhaka” itu disebabkan karena hal itu pernah dibicarakan dengan jemaat secara lisan (2 Tesalonika 2:5), sehingga Rasul Paulus tidak merasa perlu membicarakan lagi secara jelas. Ketidakjelasan ini sebenarnya sesuai dengan penjelasan bahwa kedatangan Tuhan Yesus yang kedua terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga seperti kedatangan seorang pencuri (1 Tesalonika 5:2,4; 2 Petrus 3:10). Menduga-duga siapa yang dimaksud dengan “si pendurhaka” boleh saja, tetapi sadarilah bahwa kita tidak bisa memastikan. Adanya wabah Covid-19 yang melanda dunia saat ini juga membuat banyak orang menduga bahwa Tuhan Yesus sudah akan datang kembali. Bagi kita, yang paling penting bukan kepastian kapan Tuhan Yesus akan datang kembali, tetapi bahwa kita harus berjaga-jaga menanti kedatangan Tuhan Yesus melalui sikap hidup yang bertanggung jawab melakukan pekerjaan baik yang ditetapkan Allah! [P]

Jemaat yang Terus Bertumbuh

2 Tesalonika 1

Surat 2 Tesalonika memperlihatkan bahwa jemaat di Tesalonika adalah jemaat yang bertumbuh. Dalam surat 1 Tesalonika, kita telah membaca bahwa jemaat di Tesalonika adalah jemaat teladan yang memiliki tiga ciri, yaitu adanya iman yang yang terwujud dalam perbuatan nyata, adanya kasih yang membuat mereka melayani Allah dengan bergairah, dan adanya pengharapan yang membuat mereka memiliki ketekunan saat harus menghadapi penindasan yang berasal dari orang-orang yang menentang pemberitaan Injil (1 Tesalonika 1:1-3). Dalam surat 2 Tesalonika, terlihat jelas bahwa ketiga ciri di atas bukan hanya masih ada, melainkan juga bertumbuh. Rasul Paulus mengatakan bahwa iman jemaat di Tesalonika makin bertambah dan kasih mereka antara yang seorang dengan yang lain semakin kuat (2 Tesalonika 1:3). Walaupun kata pengharapan tidak disebut secara langsung, kebanggaan Rasul Paulus atas ketabahan dan iman jemaat dalam menghadapi penganiayaan dan penindasan menunjukkan bahwa jemaat di Tesalonika juga terus bertumbuh dalam pengharapan mereka (1:4). Untuk menguatkan jemaat Tesalonika dalam menghadapi penindasan, Rasul Paulus kembali mengingatkan jemaat bahwa Tuhan Yesus akan datang kembali disertai oleh para malaikat-Nya. Saat itu, para penindas umat Allah akan menerima pembalasan berupa hukuman yang mengerikan, yaitu kebinasaan selama-lamanya, dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya, sedangkan umat Allah yang mengalami penindasan akan mendapat kelegaan (1:6-10).
Tuhan Yesus berkata bahwa umat-Nya Dia utus seperti domba ke tengah-tengah serigala (Matius 10:16). Sekalipun jemaat Tesalonika sejak rintisan telah mengalami berbagai penganiayaan, mereka tetap bertumbuh dalam iman, kasih, dan pengharapan. Rasul Paulus sadar bahwa Allah telah mengabulkan doanya bagi jemaat Tesalonika, sehingga ia merasa wajib mengucap syukur kepada Allah (1 Tesalonika 3:10-13; 2 Tesalonika 1:3-4). Apakah Anda—sebagai anggota gereja—terus bertumbuh dalam iman, kasih dan pengharapan? Apakah Anda—para pemimpin gereja—setia membina dan mendoakan jemaat agar terus bertumbuh dalam iman, kasih, dan pengharapan? Apakah Anda—siapa pun Anda—teguh berpegang pada pengharapan akan kedatangan Kristus kedua kali, saat penderitaan kita berakhir? [P]

Tanggung Jawab Orang Kristen

1 Tesalonika 5:12-28

Bacaan Alkitab hari ini membahas beberapa hal praktis yang berkaitan dengan tanggung jawab seorang Kristen: Pertama, orang Kristen harus menghormati pemimpin rohani yang telah bekerja keras memimpin jemaat (5:12-13). Dukungan terhadap pemimpin itu diperlukan agar sang pemimpin tidak gampang kehilangan semangat. Orang Kris-ten tak boleh menganggap cara hidupnya sebagai urusan pribadi antara dirinya dengan Tuhan yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain karena Allah telah menetapkan adanya pemimpin gereja yang bertugas mengarahkan umat Tuhan, termasuk memperingatkan anggota umat Tuhan yang melakukan kesalahan.
Kedua, orang Kristen harus bersikap peduli terhadap sesama (5:14-15). Kita tidak boleh menutup mata terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Kepedulian inilah yang melandasi teguran terhadap mereka yang hidup tidak tertib, penghiburan terhadap mereka yang tawar hati, serta pembelaan terhadap mereka yang lemah. Kepedulian ini hanya mungkin dilaksanakan bila orang Kristen hidup dalam kebersamaan, bukan hidup menyendiri. Perlu diingat bahwa kepedulian ini harus diwarnai oleh sikap sabar, sikap tidak membalas jahat dengan jahat, serta sikap selalu baik terhadap saudara seiman dan terhadap semua orang.
Ketiga, orang Kristen harus beribadah kepada Allah (5:16-22). Ibadah Kristen seharusnya menghasilkan sukacita (5:16) dan rasa syukur (5:18). Bila ibadah terasa membosankan dan tidak menggairahkan, kita—sebagai pribadi dan secara kebersamaan—perlu mengevaluasi dan memperbaiki diri. Salah satu unsur penting dalam ibadah Kristen adalah ketekunan berdoa (5:17) serta sikap saling mendoakan (5:25). Nubuat—atau pesan yang diakui sebagai berasal dari Tuhan—tidak boleh dipandang rendah, tetapi harus diuji secara kritis. Sesudah Alkitab selesai ditulis, tidak ada lagi orang berjabatan sebagai nabi yang perkataannya memiliki wibawa seperti perkataan Alkitab. Akan tetapi, masih tetap ada orang yang menjalankan fungsi kenabian dalam arti menyampaikan kehendak Tuhan dalam situasi khusus pada masa kini. Akan tetapi, semua perkataan yang mengatasnamakan kehendak Tuhan harus diuji secara kritis berdasarkan Alkitab karena kehendak Allah tidak mungkin bertentangan dengan ajaran Alkitab. Hanya ajaran yang sesuai dengan ajaran Alkitab yang boleh dijadikan pegangan dalam hidup kita. [P]

Berjaga-jaga dengan Tetap Bekerja

1 Tesalonika 5:1-11

Kesulitan untuk tetap berpegang pada pengharapan Kristen itu disebabkan karena kita tidak tahu kapan pengharapan itu akan terwujud. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan Tuhan Yesus akan datang kembali. Waktu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali itu bagaikan kedatangan pencuri yang tak bisa diduga. Sekalipun waktu kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali itu tak kita ketahui kapan akan terealisasi, kita harus berjaga-jaga. Ada dua kesalahpahaman umum yang berkaitan dengan perlunya berjaga-jaga ini: Pertama, ada orang yang mengabaikan pentingnya berjaga-jaga. Orang seperti ini adalah orang yang hidup seenaknya dan tidak menyadari bahwa saat Tuhan Yesus datang kembali, ia harus mempertanggungjawabkan semua yang ia lakukan. Kedua, ada orang yang beranggapan bahwa berjaga-jaga itu berarti diam menanti, tidak melakukan apa pun. Jenis kesalahan kedua ini bisa memunculkan sikap yang ekstrem, yaitu ada orang yang menjual seluruh hartanya, lalu pergi ke Yerusalem untuk menanti kedatangan Tuhan Yesus di sana.
Untuk memahami apa yang dimaksud oleh Rasul Paulus dengan nasihat untuk berjaga-jaga, kita perlu membandingkan nasihat itu dengan perumpamaan tentang hamba yang setia dan hamba yang jahat (Matius 24:45-51) serta perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30). Kedua perumpamaan itu jelas memberi tahu kita bahwa berjaga-jaga itu berarti secara aktif melakukan apa yang Allah kehendaki. Rasul Paulus menegaskan bahwa Allah sudah menentukan pekerjaan baik yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sudah diselamatkan (Efesus 2:10). Pada umumnya, pekerjaan baik yang Allah kehendaki untuk kita lakukan itu berkaitan dengan karunia khusus yang Allah karuniakan kepada setiap orang percaya. Akan tetapi, di dalam kedaulatan-Nya, bisa saja Allah baru memberi karunia khusus itu saat kita berusaha melakukan kehendak-Nya. Oleh karena itu, kita perlu bersikap waspada untuk bisa mengerti apa yang Allah kehendaki untuk kita kerjakan. Apakah Anda sudah memahami pekerjaan baik apakah yang Allah kehendaki untuk Anda kerjakan? Bila Anda belum mengerti, apakah Anda telah memohon agar Allah membuka mata Anda untuk memahami apa yang Allah kehendaki untuk Anda kerjakan? Bila Anda sudah mengerti, apakah Anda sudah melakukan kehendak Allah itu dengan setia? [P]

Pengharapan Orang Percaya

1 Tesalonika 4:13-18

Salah satu ciri khas kekristenan adalah adanya pengharapan tentang kehidupan sesudah kematian. Kematian bukanlah akhir yang buruk dari pengharapan kita. Oleh karena itu, tidak semestinya seorang Kristen larut dalam kesedihan saat menyaksikan saudara seiman yang meninggal lebih dulu. Baik kita yang masih hidup maupun mereka yang sudah mati lebih dulu sama-sama menanti kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Saat Tuhan Yesus datang kembali, orang percaya yang telah meninggal akan lebih dulu dibangkitkan, kemudian mereka—bersama-sama dengan kita yang masih hidup—akan diangkat untuk menyongsong Tuhan Yesus di angkasa, sehingga mereka akan bersama-sama dengan kita semua tinggal bersama-sama Tuhan Yesus di sorga. Itulah sumber pengharapan orang percaya! (4:13-18).
Adanya pengharapan itu seharusnya mempengaruhi cara kita memandang kehidupan. Tanpa pengharapan, ujung kehidupan yang sedang kita jalani adalah ketidakpastian, bahkan kengerian. Orang yang tidak memiliki pengharapan tentang kehidupan sesudah kematian sangat mungkin bersedia melakukan apa saja—termasuk melakukan kejahatan, penipuan, dan bahkan pembunuhan—untuk meraih kesenangan yang ditawarkan dunia pada saat ini. Sebaliknya, orang yang memiliki pengharapan akan kehidupan sesudah kematian umumnya meyakini juga bahwa seluruh perbuatan kita pada masa kini—baik atau jahat—harus dipertanggungjawabkan di masa depan (2 Korintus 5:10). Selain itu, pengharapan kita seharusnya membuat kita memandang semua kesusahan yang ada di dunia ini sebagai masalah sementara yang akan diganti dengan sukacita yang bersifat kekal. Pengharapan yang kita miliki akan menjadi sumber kekuatan bagi kita untuk berjuang mengatasi segala masalah, karena kita meyakini bahwa semua masalah yang kita hadapi pasti akan berakhir.
Apakah Anda sedang menghadapi masalah besar—seperti sakit, kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang Anda kasihi, gagal studi—yang membuat Anda seperti berada di jalan buntu? Ingatlah bahwa semua masalah itu suatu saat akan berakhir. Di satu sisi, kita harus terus berjuang mengatasi semua masalah kita. Di sisi lain, ingatlah bahwa kita memiliki pengharapan kekal yang jauh lebih berharga daripada apa yang bisa diberikan oleh dunia ini. [P]

Hidup yang Berkenan kepada Allah

1 Tesalonika 4:1-12

Apakah hidup Anda berkenan kepada Allah? Apakah hidup yang berkenan kepada Allah itu hanya berkaitan dengan masalah ibadah? Apakah orang yang rajin beribadah di gereja, rajin berdoa, dan rajin membaca Alkitab sudah pasti hidupnya berkenan kepada Allah? Walaupun benar bahwa hidup yang berkenan kepada Allah itu menyangkut kedekatan relasi dengan Allah, relasi yang sehat dengan Allah pasti terungkap dalam hubungan dengan sesama:
Pertama, hidup yang berkenan kepada Allah pasti melalui proses pengudusan (4:3-8). Dalam Perjanjian Baru—khususnya dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat Rasul Paulus—orang-orang percaya sering disebut sebagai orang-orang kudus. Sebutan ini menunjuk kepada status orang percaya yang telah dikuduskan melalui karya penebusan Kristus di kayu salib. Status dikuduskan ini harus direalisasikan melalui proses pengudusan tingkah laku yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Salah satu aspek pengudusan adalah menjauhi percabulan. Hubungan seks tidak boleh dilakukan secara bebas, melainkan hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita. Selain itu, hubungan seks harus dilandasi oleh penghargaan atau penghormatan, bukan dilandasi oleh keinginan memuaskan hawa nafsu. Hal ini berarti bahwa orang percaya tidak boleh meniru gaya hidup orang-orang yang tidak mengenal Allah. Ingatlah bahwa praktik penyembahan berhala yang dilakukan orang-orang non-Yahudi pada masa itu sering kali disertai dengan praktik seks bebas. Apakah Anda sudah menjalani hidup dalam kekudusan?
Kedua, hidup yang berkenan kepada Allah tercermin dalam kasih terhadap sesama (4:9-12). Bila tidak waspada, kecenderungan menguta-makan kepentingan diri sendiri akan menyingkirkan kasih terhadap sesama, padahal saling mengasihi adalah ciri pengikut Kristus. Ungkapan kasih persaudaraan bukan hanya bisa dilakukan melalui perhatian dan pemberian kepada orang lain, tetapi juga harus dilakukan dengan menjalani hidup yang bertanggung jawab yang membuat kita tidak menjadi beban bagi orang lain. Sebagai contoh, bila kita tidak mau bekerja, kita memerlukan bantuan orang lain, sehingga kita menjadi beban bagi orang yang menyayangi kita. Apakah mengasihi orang lain sudah menjadi gaya hidup Anda? [P]

Pelayanan yang Berkelanjutan

1 Tesalonika 3

Pelayanan misi seharusnya tidak boleh dipandang sebagai pelayanan “tabrak-lari”, melainkan pelayanan yang berkelanjutan. Walaupun pelayanan Rasul Paulus di Tesalonika telah menghasilkan munculnya suatu jemaat teladan (1:7), Rasul Paulus tidak beranggapan bahwa pelayanannya di sana telah selesai. Dia ingin memastikan bahwa jemaat Tesalonika sanggup mempertahankan iman saat berhadapan dengan orang-orang yang memusuhi kekristenan (3:5). Untuk melengkapi pelayanannya, Rasul Paulus melakukan dua hal:
Pertama, dia mengutus Timotius untuk mendampingi, menguatkan, dan membina iman jemaat (3:2). Saat Timotius kembali dengan membawa kabar baik tentang iman jemaat Tesalonika, Rasul Paulus—yang sedang mengalami kesesakan dan kesukaran—merasa terhibur (3:6-7). Rasul Paulus mengungkapkan perasaannya dengan perkataan yang sangat mengesankan, “Sekarang kami hidup kembali, asal saja kamu teguh berdiri di dalam Tuhan.” (3:8). Bagi Rasul Paulus, pelayanan misi bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan beban hati yang serius. Sukacitanya bukan muncul bila dia dianggap sudah melakukan tugas dengan baik, melainkan sukacitanya muncul bila orang-orang yang dia layani terus bertumbuh dalam iman sehingga sanggup mengatasi semua tantangan iman yang mereka hadapi. Ia amat rindu bertemu dengan jemaat Tesalonika, bukan supaya dia bisa menerima penghormatan atas jasa-jasanya, tetapi supaya dia bisa menambahkan apa yang masih kurang dalam hal iman jemaat (3:10). Jelas bahwa Rasul Paulus melayani dengan segenap hati.
Kedua, dia mendoakan jemaat (3:10-13). Bila kita memperhatikan isi doa Rasul Paulus, jelas bahwa doa tersebut berkaitan dengan tiga ciri penting yang harus ada dalam setiap jemaat, yaitu iman (3:10), kasih (3:12), dan pengharapan (3:13). Sebenarnya, ketiga ciri itu sudah terlihat dalam kehidupan jemaat di Tesalonika (1:3). Akan tetapi, kedalaman iman kita, keluasan penerapan kasih kita, serta ketekunan pengharapan kita perlu untuk terus dipertahankan, bahkan perlu dikembangkan.
Apakah Anda dan gereja Anda telah terlibat dalam pelayanan misi yang berkelanjutan? Pelayanan misi seharusnya bukan tugas gereja besar saja, melainkan tugas semua orang percaya. Misi gereja adalah tugas besar yang harus dikerjakan bersama, baik melalui dukungan dana, keikutsertaan secara aktif, maupun melalui doa. [P]

Sukacita dalam Pelayanan

1 Tesalonika 2:13-20

Apakah pelayanan Anda mendatangkan sukacita? Penghalang utama kemunculan sukacita dalam pelayanan adalah pandangan bahwa pelayanan merupakan sarana memperoleh keuntungan. Walaupun Rasul Paulus berhak mendapat dukungan materi, dia memilih untuk bekerja keras—sebagai tukang kemah—agar dia tidak menjadi beban bagi jemaat yang ia layani (2:9). Bagi Rasul Paulus, orang-orang yang dia layani adalah sumber sukacita (2:20). Sukacita itulah yang membuat ia bisa bertahan menghadapi kesukaran dan penderitaan dalam pelayanan. Bila Anda memandang pelayanan sebagai sekadar beban yang tidak mendatangkan sukacita, pelayanan Anda tidak akan bertahan lama.
Bila Anda menempati posisi Rasul Paulus, apa yang akan Anda sampaikan kepada Allah dalam doa Anda? Perhatikan bahwa dalam doanya, Rasul Paulus tidak mengeluh karena mengingat kesusahan yang ia alami, melainkan ia selalu mengucap syukur kepada Allah saat mengingat keterbukaan jemaat dalam merespons berita Injil yang mengubah hidup mereka (1:2-3; 2:13). Rasul Paulus mengingatkan jemaat Tesalonika bahwa yang menderita bukan hanya mereka, tetapi juga orang Kristen Yahudi di Yudea yang dimusuhi oleh orang-orang Yahudi yang menentang—bahkan telah membunuh—Kristus (2:14-15). Bagi orang Kristen, mengalami penderitaan karena Kristus bukan hanya wajar, tetapi juga merupakan suatu karunia (Filipi 1:29).
Sukacita dalam pelayanan adalah buah kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya (Galatia 5:22). Kehadiran Roh Kudus mengubah cara pandang orang percaya terhadap kehidupan. Umumnya, seseorang bersukacita bila ia memperoleh keuntungan materi. Akan tetapi, kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya membuat sumber sukacita paling utama bukanlah keuntungan materi, melainkan munculnya buah rohani dalam pelayanan. Tak mengherankan bila Rasul Yohanes berkata, “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3 Yohanes 1:4). Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus mengatakan, “Sebab siapakah pengharapan kami atau sukacita kami atau mahkota kemegahan kami di hadapan Yesus, Tuhan kita, pada waktu kedatangan-Nya, kalau bukan kamu?” (1 Tesalonika 2:19). Apakah Anda pernah mengalami sukacita dalam pelayanan? [P]