Ritual Bukan Pengganti Kesalehan

Yesaya 1

Penilaian TUHAN terhadap bangsa Israel sangat menyedihkan: Bangsa Israel digambarkan sebagai anak-anak durhaka yang memberontak terhadap orang tua yang telah membesarkan mereka. Mereka tidak berterima kasih terhadap Tuhan yang telah memelihara hidup mereka. Kelakuan mereka yang tidak berterima kasih itu lebih buruk daripada kelakuan binatang! Tuhan menyebut mereka sebagai bangsa yang berdosa dan jahat, dan kelakuan mereka yang buruk itu berlangsung turun-temurun (1:2-4).

Yang menambah masalah, bangsa Israel tidak peka terhadap teguran atau hukuman Tuhan. Mereka tidak bertobat walaupun Tuhan sudah sering memberi hukuman saat mereka jatuh dalam dosa. Mereka berpikir bahwa tuntutan Tuhan hanyalah beribadah dan memberi per-sembahan korban, padahal yang terpenting dalam pandangan Tuhan adalah menjauhi perbuatan jahat dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Bagi Tuhan, perbuatan jahat membuat ibadah umat-Nya menjemukan dan persembahan korban mereka menjijikkan. Ibadah harus disertai dengan pertobatan dari perbuatan jahat serta de-ngan cara hidup yang saleh. Kebanggaan sebagai anggota umat Tuhan serta kesalehan menjalankan ritual atau upacara keagamaan tidak meniadakan kewajiban menjauhi dosa dan berbuat baik (1:11-17).

Bila Allah menuntut umat Yehuda menjalani kehidupan yang saleh, Allah juga menuntut orang Kristen agar hidup dalam ketaatan terhadap kehendak-Nya yang tertulis di dalam firman-Nya. Sungguh keliru bila kita menyangka bahwa tuntutan Allah yang paling utama terhadap orang percaya masa kini adalah agar kita menjalankan upacara keagamaan seperti memberi diri dibaptis, mengikuti perjamuan kudus, mengikuti ibadah, dan memberi persembahan! Percuma kita beribadah bila kita berbisnis dengan cara-cara kotor seperti menyuap dan menipu, atau kita menumpuk kekayaan dengan cara memeras orang yang bekerja pada diri kita. Pada masa kini, tuntutan Allah yang paling utama adalah agar kita bertobat dan meninggalkan dosa, memercayai Yesus Kristus sebagai Juruselamat, serta melakukan perbuatan baik atau perbuatan yang dikehendaki Allah. Ingatlah selalu bahwa ibadah yang benar bukan sekadar upacara keagamaan, melainkan ibadah yang disertai kesalehan hidup. Bagaimana dengan ibadah Anda? [P]

Amanat Agung yang Seutuhnya

Matius 28:16-20

Banyak orang merasa sudah menaati Amanat Agung hanya dengan melakukan pelayanan penginjilan, misi atau pemuridan dengan tujuan puncak menuntun banyak orang untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tu- han dan Juru Selamat pribadinya, serta sudah puas saat jiwa jiwa berdosa sudah memiliki kepastian "mati masuk sorga". Pada gilirannya, pemahaman tentang Injil, tentang Yesus Kristus, dan tentang keselamatan manusia yang utuh juga akan memberi kita konteks dan pemahaman tentang Amanat Agung yang utuh. Di bukit Galilea, Yesus Kristus mengamanatkan para murid untuk pergi menghasilkan lebih banyak murid dari segala bangsa, yakni insan insan berdosa yang bersedia dibaptis dan diajar melakukan segala perintah Yesus Kristus (28:19 20a). Sama seperti Tuhan Yesus telah memanggil dan melatih mereka untuk mengikuti ajaran dan gaya hidup Nya serta meno long mereka memahami pesan Injil Kerajaan Allah secara utuh, kini Yesus Kristus memberi mereka tanggung jawab untuk pergi-bernmisi memang gil lebih banyak orang dari segala bangsa untuk mengikut Yesus Kristus- dengan menyampaikan Injil dan membaptis serta mengajar atau memu- ridkan orang orang itu agar mereka memahami dan hidup berdasarkan ajaran dan gaya hidup Yesus Kristus. Jadi, sasaran puncak dari Amanat Agung adalah menghasilkan lebih banyak manusia berdosa yang bersedia diajar dan dilatih menjadi seperti Yesus Kristus, karena hanya insan insan seperti itulah yang bisa maksimal berkontribusi melanjutkan misi Kristus, yakni menghadirkan Kerajaan Allah di bumi. Ini adalah Amanat yang sulit. Itulah sebabnya Yesus Kristus me- nyertakan penyingkapan Diri- Nya: yakni Diri Nya sebagai Pribadi yang memiliki segala kuasa di bumi dan di sorga (28:18) dan sebagai Allah Imanuel yang akan selalu menyertai mereka (28:20b). Ini tentu jaminan yang melegakan bagi para murid, sehingga mereka tahu bahwa Amanat Agung ini tidak mustahil untuk mereka laksanakan. Di hari Reformasi ini, mari kita gelisah dan berubah jika selama ini sasaran ibadah dan program pelayanan kita sebatas memastikan "orang berdosa masuk sorga." Ketika diri kita, gereja atau lembaga pelayanan kita "pergi" ke bidang pelayanan apa pun-entah penginjilan, pemuridan, misi, apologetika, pelayanan anak, orang muda, keluarga, kaum profesi, pela- yanan digital, dan sebagainya-Amanat Agung mengundang kita untuk selalu memastikan sasaran utuhnya: keserupaan dengan Kristus! [ICW]

Ibadah yang Seutuhnya

Yeremia 7:1-15

Harus kita akui bahwa kerajinan beribadah para pemeluk agama di negara kita masih kurang berdampak dalam kehidupan sehari hari, mengingat masih cukup tingginya angka kriminalitas, korupsi, intoleransi maupun kasus-kasus ketidakadilan sosial lainnya. Nilai nilai hidup umat beragama saat berada di luar rumah ibadah berbeda dengan nilai-nilai yang mereka pelajari dan amini saat berada di dalam rumah ibadah. Kondisi yang sama terjadi dalam kehidupan bangsa Yehuda-yaitu Kerajaan Israel Selatan-di zaman nabi Yeremia. Sebagai bangsa pilihan Allah, ritual keagamaan menjadi pemandangan rutin sehari hari. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari hari, baik para pemimpin maupun rakyat melakukan berbagai kejahatan sosial terhadap sesama dan berbuat dosa terhadap Tuhan (7:5-11), sehingga Allah mengutus nabi Yeremia ke Bait Suci untuk menegur kemunafikan ibadah mereka (7:1 3). Bagaimana Tuhan menegur mereka? Yakni dengan mengingatkan mereka akan peristiwa dalam sejarah bangsa mereka, yakni hancurnya Kota Silo dan Kemah Suci yang terdapat di kota itu (7:12-15). Kota yang dulunya merupakan pusat peribadatan bangsa Israel itu sudah menjadi puing puing. Bangsa Yehuda diingatkan bahwa sejarah kelam itu bisa terulang, bisa dialami oleh kota Yerusalem dan bait Allah yang mereka banggakan saat itu, karena Allah akan menghukum bangsa yang ber ibadah secara munafik. Kita harus mengevaluasi diri: Apakah nilai-nilai yang kita pegang saat berada di dalam dan di luar gereja sama? Perhatikanlah bahwa kita beribadah di hari Minggu, hari kebangkitan Yesus Kristus, sekaligus hari pertama setelah Sabat Yahudi. Bapa bapa gereja menghayati hari Minggu sebagai hari saat kita merayakan Yesus Kristus yang telah memperbarui seluruh ciptaan, sekaligus hari saat kita diutus kembali untuk membawa kuasa kebangkitan Kristus dengan menghadirkan pembaruan dan perubahan di sepanjang pekan. Menjelang hari Reformasi ini, doakanlah gereja Anda agar ibadah- nya tidak munafik, melainkan merupakan ibadah yang utuh, yakni ibadah yang setia mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Allah, yakni kasih, kebaikan dan keadilan Allah. Nilai-nilai itu telah diajarkan dan dipraktikkan oleh Yesus Kristus, dan kemudian Dia mengutus jemaat untuk mempraktikkan- nya, agar ibadah umat kristiani yang merupakan minoritas bisa berdam- pak membawa perubahan dalam kehidupan bangsa kita. [ICW]

Iman yang Seutuhnya

Ayub 1:1-5; 3:1; 13:15; 42:5-6

Mengikut Tuhan itu menuntut kesediaan untuk berubah. Bahkan, iman pun seharusnya berkembang. Perubahan iman Ayub adalah contoh yang baik. Mula-mula, iman Ayub hanya sebatas believe (percaya dengan otak). Iman jenis ini menekankan ibadah ritual dan gaya hidup agamawi serta meyakini bahwa “kalau aku tekun beribadah dan berperi-laku baik, hidupku akan aman dan diberkati Tuhan.” Iman jenis ini ber-pandangan bahwa Allah selalu mengawasi dan siap menghukum bila kita berbuat dosa. Oleh karena itu, Ayub yang saleh itu kuatir bahwa anak-anaknya berbuat dosa saat berpesta, sehingga ia selalu membuat ritual korban bakaran kepada Allah agar hidupnya tidak bermasalah (1:1-5). Akan tetapi, Iblis mengetahui kelemahan iman jenis ini. Itulah sebabnya, ia meminta izin Allah untuk merenggut semua milik Ayub karena ia yakin bahwa iman Ayub akan goyah dalam penderitaan. Ternyata, iman Ayub tetap kuat. Ia tidak mengutuki Allah. Akan tetapi, Ayub mengutuki hari kelahirannya (3:1), suatu tanda bahwa ia mulai tidak nyaman dengan believe-nya. Untungnya, Ayub terus mencari Allah dalam doa-doa ratapannya, sehingga imannya semakin kuat. Bahkan, ia siap mati jika Allah menghendakinya, “Jika Allah hendak membunuhku, aku berserah saja” (13:15a, versi BIS). Di sini, Ayub memilih kata trust—artinya berserah, tanda bahwa iman Ayub bertumbuh dari believe—artinya percaya dengan otak—menjadi trust—artinya berserah, mem-percayakan diri sepenuh hati. Allah meneguhkan iman Ayub yang baru melalui percakapan (pasal 38-39) yang membuat visi Ayub tentang Allah menjadi begitu besar, sampai-sampai semua penderitaannya terasa kecil dan ia menyesali semua protesnya kepada Allah (42:5-6). Imannya (trust) kini bisa meyakini bahwa meskipun segalanya hilang, hidupnya akan baik-baik saja selama bersama Allah. Ia sadar bahwa Allah yang besar adalah Allah yang mengasihi dia. Baik hidup menderita atau tidak, iman para murid Kristus seharus-nya bertumbuh seiring dengan pertumbuhan pengenalan kita akan Allah, Sang Firman yang menciptakan alam semesta (Kejadian 1:3) dan yang te-lah menjadi manusia dan mati bagi keselamatan kita. Seperti Ayub, mari kita lakukan bagian kita, yaitu bertekun dalam waktu pribadi bersama dengan Allah sampai Ia mengutuhkan iman kita. Iman believe juga pen-ting—karena iman berawal dari situ—tetapi tidak boleh berhenti di situ, melainkan harus makin utuh, menjadi iman trust! [ICW]

Relasi yang Seutuhnya

Yohanes 6:22-35

Jika ada teman yang dekat dengan kita dan sering mengaku diri sebagai sahabat kita, tetapi sikapnya selama ini kita rasakan sekedar memanfaatkan dan memperalat diri kita, kita pasti sedih dan kecewa, bukan? Perikop kita hari ini melaporkan situasi semacam itu serta mencatat reaksi Kristus yang diperlakukan semacam itu. Dalam teks hari ini, Rasul Yohanes mengisahkan tentang banyak orang yang amat tertarik mengikuti berita tentang Kristus (6:22-23). Sema- ngat mereka luar biasa! Mereka berupaya memikirkan segala cara, dan akhirnya bersusah payah menaiki perahu untuk menemui Tuhan Yesus (6:22-24). Namun, ternyata semangat untuk mencari saja tidak cukup kare na Tuhan Yesus menegur mereka (6:27). Mengapa? Dia menegur mereka karena semangat dan kerelaan mereka tidak disertai motivasi yang tepat Mereka hanya mencari keuntungan, bukan mencari Pribadi Yesus Kristus. Mereka mencari keuntungan bukan semata mata karena membu- tuhkan makanan, tetapi karena pemahaman rohani mereka salah. Mereka menganggap pengalaman nenek moyang mereka mendapat manna di padang gurun saat dipimpin Musa sebagai pola yang saat itu wajib mereka terima juga dari Allah melalui Yesus Kristus, bukan sebagai anugerah yang melaluinya, Allah mengundang umat Israel untuk setia dalam relasi mereka dengan Allah (6:30-31). Itulah sebabnya, Tuhan Yesus mengajar mereka dengan mengalihkan fokus pencarian mereka dari mencari makanan kepa- da relasi dengan diri-Nya, Sang Roti Hidup yang diutus Allah untuk mem beri hidup yang kekal (6:32 35). Kita hidup di tengah zaman saat relasi sejati merupakan barang langka. Sesama manusia, bahkan Tuhan, bisa lebih dihargai karena nilai manfaatnya. Dengan semangat reformasi, marilah kita mengevaluasi moti- vasi kita dalam beribadah dan mengikut Tuhan selama ini: Apakah Anda semakin rindu membangun relasi dengan Yesus Kristus atau Anda hanya mencari berkat- Nya? Berdoalah agar relasi kita dengan Allah menjadi rela- si yang semakin utuhl Marilah kita membangun sikap yang tidak semata- mata mengharapkan berkat, melainkan juga tekun mendekat kepada Sang Sumber Berkat lewat doa, setia mengasihi-Nya, dan memercayakan diri kepada-Nya, sehingga kita dimampukan untuk menjadi berkat bagi dunia dengan menularkan budaya pergaulan yang membangun relasi yang utuh, bukan relasi yang memanfaatkan, apalagi memperalat sesama. [1CW]

Hidup yang Seutuhnya

Yeremia 29:1-11

Gaya hidup orang-orang Yehuda yang sedang menjalani pembuang-an di Babel tidak sesuai dengan kehendak Allah. Oleh karena itu, Allah mengutus Yeremia untuk mengirim surat kepada mereka (29:1-3). Melalui surat itu, Allah menyatakan kehendak-Nya, yakni mereka harus menjalani kehidupan secara normal, bahkan maksimal, yakni terlibat da-lam kehidupan sehari-hari masyarakat Babel (29:4-6). Mengapa? Karena penghukuman Allah kepada umat pilihan-Nya itu mengandung peng-utusan, yakni agar umat-Nya turut berperan mengusahakan kesejahtera-an kota tempat mereka dibuang (29:7). Rupanya gaya hidup mereka yang tidak memedulikan orang lain dan mementingkan diri sendiri itu terpengaruh oleh nubuat dan ajaran dusta bahwa Allah akan segera memulangkan mereka dari pembuangan (29:8-9), sehingga banyak di antara mereka yang memilih untuk sekadar bertahan, dan tidak peduli terhadap kondisi kota maupun warga Babel. Surat Yeremia menegaskan bahwa rancangan Allah tetap sama bagi mereka maupun melalui mereka, yakni rancangan damai sejahtera (29:10-11). Artinya, di mana pun umat pilihan Allah berada, panggilan Allah bagi mereka tidak pernah berubah. Mereka tetap merupakan umat yang diberkati Allah; dan melalui mereka, berkat Allah harus sampai dan dinikmati oleh segala bangsa (bandingkan dengan Kejadian 12:1-3). Tidak sedikit orang Kristen yang saleh, namun—tanpa sadar—ber-sikap egois, tidak peduli terhadap sesama maupun terhadap kondisi ling-kungannya, kotanya, maupun bangsanya. Salah satu penyebab sikap itu adalah pengaruh ajaran yang tidak utuh, yaitu ajaran yang membuat mereka cenderung mementingkan kesalehan pribadi dan mengurus kehidupan diri sendiri. Mereka menjalani hidup hanya untuk sekadar ber-tahan hidup dan mengisi waktu sebelum mati atau sebelum Tuhan Yesus datang kembali, sehingga mereka tidak merasa terbeban untuk terlibat secara serius dan maksimal dalam upaya mengubah kondisi dunia yang penuh bencana, kejahatan dan ketidakadilan. Sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, kita tak boleh puas hanya sekadar diselamatkan dari ke-binasaan kekal, karena sesungguhnya kita diselamatkan untuk melaku-kan pekerjaan baik yang memuliakan Allah (Efesus 2:10). Jadi, boleh saja hidup kita berorientasi sorga. Akan tetapi, kita juga harus terlibat dan berdampak di tengah dunia. Ingatlah bahwa di mana pun kita berada, dalam posisi atau peran apa pun, kita adalah utusan-Nya! [ICW]

Keselamatan Manusia yang Seutuhnya

Kolose 3:1-4

Manusia berdosa diselamatkan melalui iman kepada Yesus Kristus. Saat seseorang beriman kepada Yesus Kristus, ia menjadi ciptaan baru dan memperoleh hidup yang kekal. Sayangnya, banyak orang percaya yang salah mengerti dan mengira bahwa keselamatan atau hidup kekal itu baru akan dialami kelak setelah mereka mati, Bacaan kita hari ini menunjukkan kebenaran teologis yang dialami saat seseorang beriman kepada Kristus, yaitu turut mati dan turut dibang- kitkan bersama Kristus (3:3, 1a), hidup bersama dengan Kristus di dalam Allah (3:3), dan akan dimuliakan bersama Kristus saat la datang kembali (3:4). Dengan kata lain, jemaat Kolose bukan hanya sudah diampuni dosa- nya oleh darah Kristus, melainkan juga sudah dipersatukan dengan Kristus. Ya, kata kuncinya adalah "bersama Kristus". Dari aspek waktu, kebersa- maan atau kebersatuan dengan Kristus itu mencakup dimensi masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bahkan, Rasul Paulus menekankan dimensi masa kini dari keselamatan, yaitu bahwa hidup mereka sekarang "tersem- bunyi bersama Kristus di dalam Allah" (3:3). Hal ini tidak berarti bahwa hidup mereka tanpa masalah, melainkan bahwa hidup mereka kini memi- liki kekuatan rohani yang baru, yakni kuasa kebangkitan Kristus. Kuasa yang telah mengalahkan iblis itu kini tersedia secara melimpah dan akan memampukan mereka menghadapi tantangan hidup serta menghadapi kuasa dosa dalam diri mereka maupun dalam dunia. Kuasa Kristus bisa mereka alami dengan mengarahkan pikiran dan hati kepada "perkara- perkara yang di atas' (3:1b-2), yakni kebenaran kebenaran tentang Kristus (kehidupan, kematian, dan kebangkitan Nya). Jadi, jelas bahwa keselamatan atau hidup kekal itu dialami sejak seseorang beriman kepada Kristus. Hidup kekal bukan hanya dialami kelak bersama Kristus di sorga, tetapi juga dialami saat ini bersama dengan Kristus, hidup yang turut bekerja bersama Allah, yakni Allah yang masih terus bekerja sampai sekarang di dalam dan bagi dunia ini (Yohanes 5:17). Memahami keselamatan manusia secara utuh ini penting karena mandat sebagai gambar Allah tidak batal saat manusia jatuh dalam dosa, sehing- ga peran manusia sangat sentral dalam pewujudan Injil yang utuh itu. Allah yang bertekad memulihkan seluruh ciptaan-Nya mengandalkan orang-orang yang Dia selamatkan, yakni para pengikut Kristus di segala zaman dan tempat. Nikmatilah dan hiduplah berdasarkan keselamatan yang utuh. [ICW]

Yesus yang Seutuhnya

Matius 16:13-23

Kehendak Allah yang bertekad memulihkan seluruh ciptaan-Nya yang dirusak oleh dosa itu memuncak dalam diri Tuhan Yesus (Ibrani 1:1-3) melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Sayangnya, pema-haman banyak orang tentang Kristus sering tidak seimbang. Akibatnya, Yesus Kristus menjadi tidak dikenal atau dicintai secara utuh. Bacaan hari ini menunjukkan bahwa Kristus menghendaki agar para murid mengenal Diri-Nya secara utuh. Pada masa itu, di Kaisarea Filipi, terdapat tempat pemujaan dewa-dewi Yunani dan Kaisar Romawi. Tuhan Yesus menguji pengenalan mereka akan Diri-Nya (Matius 16:13-15). Ja-waban Petrus membuktikan bahwa pengenalan para murid bertumbuh. Bagi Petrus, Kristus bukan hanya Guru, tetapi juga Mesias, Raja Penyela-mat bangsanya, dan Tuhan Yesus memuji jawaban Petrus (16:16-20). Se-telah itu, Kristus makin menyingkapkan Diri-Nya kepada mereka, bahwa Ia bukan Mesias seperti dalam pemahaman orang Yahudi, melainkan Mesias yang harus menderita, mati, lalu bangkit kembali (16:21). Teguran Kristus yang sangat keras kepada Petrus yang menolak Mesias yang menderita menunjukkan bahwa Iblis senang jika umat pilihan Allah mengimani Mesias yang tidak utuh (16:22-23). Sebenarnya, Perjanjian Lama juga mengajarkan tentang Mesias yang menderita (Yesaya 53). Namun, aspek ini tidak ditekankan oleh pengajar agama Yahudi, sehingga doktrin Mesias yang populer adalah Mesias yang akan memimpin bangsa Yahudi mengalahkan kekuasaan Romawi dan Herodes, padahal Kristus harus menderita dan mati untuk mengalahkan musuh yang jauh lebih kuat dan lebih jahat dari Kaisar Romawi atau raja Herodes, yakni Iblis sendiri. Syukurlah, para murid akhirnya makin utuh mengenal Kristus. Setelah Tuhan Yesus bangkit, mereka mengimani dan memberitakan Dia bukan hanya sebagai Guru dan Mesias bangsa Yahudi, melainkan sebagai Tuhan, Raja, dan Juru Selamat dunia (Kisah Para Rasul 2:36) Hari ini, kita bisa mengulang kesalahan Petrus dan orang-orang Yahudi dengan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi yang menjamin kita “mati masuk sorga”, tetapi menolak Dia sebagai Guru dan Mesias, Raja segala raja, yang nilai kerajaan-Nya, ajaran-Nya, mau-pun teladan gaya hidup-Nya harus dipraktikkan sepanjang hidup kita. Jadi, imanilah Yesus Kristus secara utuh, agar hidup kita bisa berkontribusi mak-simal dalam menghadirkan Kerajaan Allah (injil yang besar dan utuh itu) di bumi. [ICW]

Injil yang Seutuhnya

Yesaya 65:17-25; Yohanes 16:20-21

Teks kita hari ini menggambarkan masa depan yang sangat indah, yakni sebuah dunia baru dengan kondisi yang dirindukan semua manusia: Penduduknya penuh kegirangan dan berkat (Yesaya 65:18, 23), tidak ada tangisan atau kesakitan (65:19), bahkan tidak ada kematian (65: 20, 23). Kondisi di dunia baru itu seperti kondisi sebelum kejatuhan dalam dosa. Saat itu, manusia hidup dalam hubungan yang harmonis dengan Allah dan dengan seluruh ciptaan lainnya (65:24 25). Di dunia yang baru itu, manusia bisa melanjutkan peran sebagai gambar Allah dan rekan kerja Allah yang terus berkarya bersama Allah bagi kemuliaan Nya (65:21). Inilah kabar baik yang besar dan utuh, yang mencakup keselamatan seluruh ciptaan, bukan hanya keselamatan manusia. Sayangnya, dunia ini membuat kita sulit memercayai kabar baik dari nabi Yesaya ini, dan kita lebih memercayai kabar buruk dari wacana ilmiah maupun dari agama-agama, bahwa dunia ini akhirnya akan hancur, tidak peduli sekeras apa pun usaha manusia melestarikannya. Akan tetapi, alasan kita untuk memercayai kabar baik ini adalah karena Pribadi yang mengu mumkannya adalah Allah sendiri (65:17). Allah-Pencipta dan Penentu akhir dari segala ciptaan-Nya itu-pasti mampu mewujudkannya. Bagaimana cara Allah mewujudkan firman-Nya? Yohanes 16:20-21 memberi petunjuk kepada kita. Saat menghibur para murid menjelang penyaliban Nya, Tuhan Yesus memakai gambaran tentang rasa sakit seperti perempuan bersalin untuk menjelaskan bahwa kesedihan para murid tidak akan lama, kareng tiga hari kemudian, Dia akan bangkit. Tuhan Yesus berkata, "kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira." Dunia akan bergembira kare na dunia yaitu ciptaan lama-yang telah rusak oleh dosa akan diciptakan ulang. Melalui kebangkitan Tuhan Yesus, dunia baru telah dilahirkan, dunia baru yang akan terus berproses menjadi semakin baik, dan kelak akan mewujud sempurna ketika Dia datang kembali beserta turunnya Yerusalem baru, kota Allah itu, dari sorga ke bumi (Wahyu 21-22). Kita telah diselamatkan dan menjadi ciptaan baru melalui iman kepa- da Kristus. Imanilah Injil yang utuh ini, karena menolaknya berarti kita menyangkali janji Allah maupun berita salib dan kebangkitan Kristus yang telah mengalahkan kuasa yang merusak ciptaan yang lama, yakni iblis, sekali dan selamanya. Mari, biasakan diri kita dengan Injil yang besar dan utuh karena seluruh aspek iman dan hidup Kristen berawal dari sini. [ICW]

We Live for an Audience of One: God

1 Timotius 6:11-21

Pernahkah Anda menonton film tentang para gladiator yang berta-rung di Colloseum atau gelanggang Romawi lainnya. Film-film itu umumnya menggambarkan bahwa nasib para gladiator tidak hanya ditentukan oleh kemampuan bertarung saja, melainkan juga ditentukan oleh acungan jempol—disebut pollice verso—para penonton, khususnya acungan jempol para penguasa—terutama kaisar—yang menonton. Terlepas dari kenyataan bahwa historisitas dan makna pollice verso atau jempol terbalik tersebut masih meragukan, kita menangkap pesan bahwa mendapat perkenanan para penonton—khususnya penguasa—sangat penting bagi sang gladiator. Dalam realitas kehidupan, mendapat perkenanan para penonton atau penguasa atau kaisar tidak hanya terjadi di gelanggang Romawi. Dalam buku The Fifth Discipline, Peter M. Senge menuliskan, “Pada saat anak-anak mencapai usia 10 tahun, mereka sudah tahu bagaimana menjadi unggul di sekolah dan menyenangkan guru mereka—sebuah pelajaran yang mereka bawa sepanjang karir mereka ‘menyenangkan bos-bos mereka ...’” Senge memperingatkan para pembacanya agar tidak sekadar menjadi people-pleaser (orang yang hanya berusaha menyenangkan orang lain). Sebagai orang percaya, kita tidak boleh menjadi people-pleaser, melainkan kita harus menjadi God-pleaser (orang yang hidup untuk menyenangkan Allah). Bahkan, sesungguhnya, “We live our lives for an audience of one: God”—artinya kita menjalani hidup hanya bagi satu pribadi, yaitu Allah. Hal itulah yang Rasul Paulus ingatkan kepada Timo-tius di akhir surat 1 Timotius ini. Timotius dipanggil untuk memuliakan dan menyenangkan Allah melalui pelayanannya, dan dia telah mengik-rarkannya di hadapan jemaat TUHAN. Oleh karena itu, Rasul Paulus mendorongnya untuk terus bertahan dalam pertandingan imannya dengan tidak bercacat dan tidak bercela hingga Tuhan Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Kita tentu saja mempunyai panggilan hidup yang berbeda dari Timotius, tetapi ke mana pun kita dipanggil, kita hidup memuliakan dan menyenangkan Allah. Dibaptiskan dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, di hadapan Allah dan jemaat-Nya, kita telah mati bersama de-ngan Kristus, bangkit bersama-Nya, dan selayaknya hidup hanya bagi-Nya, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan? [HL]