Kekerasan dan Kelembutan Hati Tuhan

Pada umumnya, kejayaan suatu kerajaan di dunia ini diukur dari kestabilan politik kabinetnya, kepiawaian diplomasi rajanya, serta kekuatan militer tentaranya. Akan tetapi, kitab 2 Tawarikh menyajikan sebuah sudut pandang yang berbeda. Kejayaan atau keruntuhan sebuah kerajaan tergantung dari kerohanian raja dan warganya. Keberhasilan atau keterpurukan suatu negara tergantung dari kesetiaan pemimpin dan rakyatnya terhadap Tuhan Allah. Oleh karena itu, kitab 2 Tawarikh ini amat unik. Tuhan adalah Pemegang peran terpenting yang mengatur semua hal yang terjadi dalam sejarah semua bangsa, bukan hanya sejarah Yehuda. Dalam kitab 2 Tawarikh, dicatat soal raja Mesir yang menaati perintah Tuhan serta raja Koresh yang walaupun agung dan perkasa, namun mengakui bahwa kekuasaannya dikaruniakan oleh Tuhan kepadanya.

Kitab 2 Tawarikh ini dipercayai sebagai kitab yang ditulis oleh seorang imam, yaitu Ezra, sekitar tahun 430 BC. Berbeda dengan kitab yang membicarakan zaman yang serupa—yaitu kitab 1-2 Raja-raja—yang ditulis oleh seorang nabi, kitab ini lebih menekankan tentang kebangunan rohani kerajaan ketimbang masalah politik. Sejarah yang dikisahkan dalam kitab 2 Tawarikh dimulai dari pemerintahan raja Salomo pada tahun 971 BC sampai pembuangan Yehuda ke Babel pada tahun 586 BC. Berbeda dengan kitab 1-2 raja-raja yang menyoroti Kerajaan Yehuda dan Israel Utara secara bergantian, kitab ini seluruhnya difokuskan pada kerajaan Yehuda saja. Pemeliharaan Tuhan sangat jelas, yaitu dengan selalu menempatkan keturunan Daud di atas takhta Kerajaan Yehuda. Walaupun sangat disayang Tuhan, Kerajaan Yehuda tidak selalu berlaku sesuai kehendak-Nya. Berkali-kali, bangsa Yehuda menyakiti hati Tuhan, dan Tuhan berkali-kali pula memperingatkan Yehuda agar kembali kepada-Nya. Kitab 2 Tawarikh memperlihatkan realitas yang jujur dari hati manusia kepunyaan Tuhan. Betapa banyaknya orang yang mengaku sebagai anak-anak Allah, yang merasakan pemeliharaan dan kasih Tuhan, namun terus hidup menyakiti hati Tuhan dan berbuat sekehendak hatinya sendiri. Semoga kitab ini bisa mengingatkan kita tentang kekerasan dan kelembutan hati Tuhan, serta menyadarkan kita untuk hidup lebih berkenan bagi Dia. Amin! [PHJ]

Panggilan Tugasku
Minggu, 23 September 2018

Bacaan Alkitab hari ini:
2 Tawarikh 1-2

Bagaimana perasaan Anda bila tiba-tiba Tuhan bertanya kepada Anda, “Mintalah apa yang hendak kuberikan kepadamu” (1:7)? Anda pasti akan merasa kaget dan senang luar biasa, bukan? Selanjutnya, apa yang akan Anda minta: rumah mewah? mobil sport? uang triliunan rupiah?

Saat mendapat pertanyaan di atas, jawaban Raja Salomo sangat mencengangkan. Ia berkata kepada Tuhan, “Berilah sekarang kepadaku hikmat dan pengertian, supaya aku dapat keluar dan masuk sebagai pemimpin bangsa ini, sebab siapakah yang dapat menghakimi umat-Mu yang besar ini?” (1:10). Ia mengajukan permohonan berlandaskan tugasnya sebagai pemimpin umat Israel, bukan pada kesenangan pribadi.Ia mengerti bahwa Tuhan tidak mengajukan pertanyaan seperti itu kepada semua orang, sama seperti tidak semua orang bisa menjadi raja di Israel, melainkan hanya orang yang dipilih Tuhan. Seiring dengan kenyataan bahwa Tuhan telah mengangkatnya menjadi raja (1:9), Salomo menjawab berlandaskan tugas yang Tuhan embankan padanya.

Bila Anda ingin berada di posisi mendapat hak istimewa untuk meminta kepada Tuhan seperti Salomo, apa yang membuat Tuhan mau mengajukan pertanyaan seperti di atas kepada Anda? Apa yang membuat Tuhan mau mengabulkan permintaan Anda? Saat sadar diri, barulah kita mengerti bahwa pertanyaan seperti itu jarang Tuhan berikan, dan hanya diberikan kepada pemangku tugas. Berhentilah melihat diri dan kebutuhan diri sendiri saja. Bukankah sebagian besar isi doa kita bersifat egois? Sadarilah panggilan Tuhan terhadap diri Anda! Apa peran Anda di tengah keluarga dan masyarakat? Kesadaran akan panggilan Allah akan mengubah isi doa Anda. [PHJ]

Roma 12:4-6a
“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita…mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita.”