Percaya terhadap Janji Allah

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 18:1-15

Dalam suatu karya sastra yang dikerjakan secara teliti, biasanya jarang terjadi pengulangan tema yang mirip dengan bagian sebelumnya, apalagi yang baru saja dibahas pada halaman sebelumnya, kecuali bila penulis hendak menekankan suatu hal penting yang wajib diperhatikan pembacanya. Demikian pula halnya dengan pasal 18:1-15 yang merupakan pengulangan terhadap janji Allah di pasal 17. Mengapa Allah mengulangi janji tersebut, padahal Abraham sendiri telah bersumpah setia melalui sunat? Ternyata sasaran utama Allah bukan Abraham, tetapi Sara.

Setelah menyampaikan sedikit latar belakang konteks, penulis menyampaikan inti pesan perikop ini, yaitu bahwa Tuhan berjanji untuk datang kembali pada tahun berikutnya guna menjumpai Abraham (18:10). Kala kunjungan itu terjadi, Abraham akan sudah memiliki keturunan sendiri dari istrinya, yaitu Sara. Hal itu terdengar mustahil terjadi mengingat bahwa Abraham sudah tua dan istrinya (Sara) sudah masuk masa menopause (berhenti haid). Tidak mengherankan bila Sara menertawakan ucapan Tuhan tersebut (18:12).

Sikap Sara sebenarnya wajar. Siapa pun—termasuk kita—bisa saja bersikap seperti Sara bila berada pada kondisi seperti itu. Melalui kondisi seperti itu, Tuhan memproses iman Abraham dan keluarganya. Bagi Tuhan, kesetiaan terhadap perjanjian-Nya (pasal 17) tidak cukup bila hanya diungkapkan dengan tanda sunat saja, melainkan harus disertai hati yang percaya pada kepastian janji Allah. Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus memberi penilaian positif terhadap iman Abraham, yaitu bahwa Abraham percaya kepada Allah. Walaupun tubuhnya makin lemah, imannya tidak menjadi lemah. Ia tidak bimbang terhadap janji Allah. Ia yakin bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan kepadanya (Roma 4:18-21). Namun, ingatlah bahwa iman Abraham yang luar biasa itu telah melalui proses pergumulan yang tidak mudah.

Bagaimana dengan Anda? Bila Anda sudah mengaku percaya dan beriman kepada Yesus Kristus, apakah Anda sungguh-sungguh mengimani dan mengamini janji Allah, walaupun janji itu kadang-kadang terdengar mustahil secara nalar atau logika? Apakah Anda menilai janji Tuhan berdasarkan logika dan memilih untuk hanya memercayai hal-hal yang logis saja? Apakah Anda menunggu Allah membuktikan kebenaran janji-Nya sebelum Anda bisa mempercayai janji tersebut? [Sung]